28. Before Midnight

5.2K 615 6
                                    

Dinas itu 25 persen kerja 75 persen jalan jalan.

-Kampret yang mampu melihat peluang.


Hari kedua di Tokyo tidak ada jadwal yang terlalu padat, kebanyakan hanya beberapa pengurusan surat, perijinanan dan pengumpulan kuisioner yang akan dibagikan online besok di acara inti. Dewangga sendiri tampaknya juga tidak masalah dengan kinerjaku ini.

Setelah selesai mengecek persiapan untuk pameran dan seminar besok, aku sudah pulang kembali ke hotel ketika waktu menunjukkan pukul dua siang. Saat yang cukup terlambat untuk sebuah makan siang.

Aku duduk di meja dekat jendela restoran hotel yang terletak di lantai dasar. Sembari mencari-cari di internet rute perjalanan yang sedang kurencanakan. Rasanya sangat disayangkan kalau sudah sampai sini tapi hanya dikamar hotel saja.

"Mau ke Shibuya?" Sebuah suara berat mengejutkanku, Dewangga. Pantas saja aku mencium aroma parfum khas yang sejauh ini hanya dia yang memakai aroma seperti ini. Aroma yang idak manly, tapi segar yang ketika dihirup saja bikin hangat dan tenang.

Aku menoleh kebelakang, rupanya dia melihat layar ponselku. "Eh iya Pak."

Dewangga duduk di kursi depanku. "Sama siapa?"

"Sendiri." Jawabku santai. Sebenarnya aku mengajak Icuk, tapi timnya masih sibuk untuk persiapan besok.

"Udah pernah kesana?" tanyanya lagi.

"Belum Pak, lagi pulakan ada maps semuanya jelas. Meskipun pertama kali kalo di Jepang juga nggak akan nyasar." Memang benar, Jepang adalah salah satu negara paling aman untuk solo traveler, meskipun itu perempuan.

"Jam berapa berangkat?" Tanya Dewangga lagi sudah seperti reporter.

"Jam empatan. Kenapa Pak?" tanyaku balik.

"Lho kok ngegas, cuma tanya." Dewangga menyeringai sedikit. Ganteng. Sialan sekali memang bosku ini.

**

Sekitar pukul empat aku sudah keluar dari kamar hotelku, tepat saat di lorong bertemu dengan Dewangga yang sudah bertransformasi dengan gaya kasualnya. Terkahir aku melihatnya berpakaian santai ya hanya saat futsal saja. Itu saja sudah terlihat seperti David Beckam.

Dewangga menyapaku sok ramah, kenapa sok? Karena aku tahu itu tidak tulus, air mukanya tetap datar.

"Lhoh Pak mau kemana?" tanyaku melihat sekilas dari ujung kepala hingga kakinya. Dia mengenakan kaus hitam polos lengkap dengan jaket hitam senada, celana jins dan sepatu vans. Benar benar tampak 10 tahun lebih muda. Tidak seperti kepala tiga. Apalagi rambutnya hanya dibiarkan begitu saja tidak di gel.

"Ke Shibuya dong." Jawabnya santai.

"Lho Bapak ngikutin saya?" Tanyaku dengan nada sedikit tinggi. "Eh maksud saya Bapak kesana juga?"

"Emang yang boleh ke Shibuya lo doang. Gue bosen dikamar terus nggak sehat, mending jalan sekalian stretching."

"Ya kalo cuma mau pemanasan mah ke gym ngapain sampe Shibuya." Gerutuku kemudian berlalu menuju ke lift.

Dari Shinjuku ke Shibuya memang tidak memakan waktu lama dengan kereta. Letak distrik yang berdekatan membuat jarak sesungguhnya tidaklah jauh, hanya saja dengan transportasi umum dan berjalan kaki bisa memakan waktu lebih lama.

Aku sudah membawa perlengkapan fotoku yaitu camera pocket, memory cadangan, power bank, ponsel dan lain-lain. Sedangkan Dewangga tampaknya cukup membawa diri sendiri saja.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke Shibuya menggunakan kereta. Pintu gerbong telah terbuka seketika saat pengumuman bahwa telah sampai di stasiun Shibuya. Aku berusaha ikut merangsak keluar namun rupanya membutuhkan usaha yang lebih, karena stasiun Shibuya sangat padat sore ini. Pantas saja jika stasiun ini pernah mendapatkan peringkat stasiun tersibuk di dunia, karena aku saja sudah hampir terlempar kekanan-kiri kalau tidak ada Dewangga yang menahanku dari belakang.

"Huh, rame banget sih." Aku mendongak mencoba membaca tanda arah pintu keluar.

"Aku yakin kalau berangkat sendiri sampe sini kamu pasti nyasar." Ujar Dewangga, kemudian meraih kertas tiket ditanganku. "Hachiko Exit Gate, lantai satu sini." Dewangga menarik hoodie jaketku agar aku mengikutinya.

"Eh aduh. Pak pelan-pelan dong. Buset cepet amat sih jalannya." Aku menggerutu sambil mengekor Dewangga yang nyaris tak terlihat, karena langkahnya yang selebar jalan kenangan itu. Apa aku harus salto dulu agar menyamai langkahnya. Sungguh bos yang menyebalkan.

Setelah berusaha mengekor Dewangga dengan berbagai kombinasi jalan cepat, lari kecil sampai lompat lompat akhirnya kami bisa mencapai luar Hachiko Exit Gate yang cukup ramai juga. Beberapa warga asing tampak tengah antri berfoto dengan patung anjing Hachiko yang menjadi ikon stasiun Shibuya.

Dewangga yang tidak tampak terkesan hanya sekedar menoleh mencari celah untuk jalan area penyeberangan yang cukup besar dan menjadi ikon utama Shibuya. Persimpangan tersibuk didunia dengan ribuan pejalan kaki yang menyeberangi zebra-cross lima sisi dalam sekali tempo.

Dewangga hanya menatap pasrah aku yang tampak masih asik memotret kepadatan Shibuya. Setelah puas melihat hasil foto-fotoku di galeri, aku kemudian mencari spot foto terbaik untuk memotret penyeberangan terbesar ini.

"Jangan disinilah kalo mau foto, mana keliatan viewnya apalagi yang ngefoto pendek kaya tripod gini." Dewangga mulai menyindir, kemudian mengambil kameraku kemudian membidik beberapa foto persimpangan.

" Dewangga mulai menyindir, kemudian mengambil kameraku kemudian membidik beberapa foto persimpangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nih." Dewangga mengulurkan kameraku kembali. "Kita nyebrang kesana dulu deh."

Aku mengecek hasil tangkapan fotonya tampak seperti foto yang ada di google. Sedetik kemudian Dewangga menyeretku untuk segera menyeberangi zebra-cross. Puluhan orang melangkah dibawah naungan gedung degung tinggi di sepanjang persimpangan. Layar-layar besar menampilkan iklan-iklan brand terbesar, pertokoan yang padat, dan kendaraan kendaraan yang terpaku lampu merah.

Setelah puas menyibukkan diri di persimpangan terpadat ini, kami berjalan menuju Cat Street yang mengarah ke Harajuku. Shibuya memang sangat bisa memanjakan para pecinta belanja, namun untungnya baik aku dan Dewangga tidak terlalu tertarik. Jadi kami hanya memutuskan berjalan dan foto saja.

"Makan yuk." Ajak Dewangga sembari melihat jam.

"Saya belum laper sih Pak." jawabku masih sibuk melihat galeri foto.

"Gue nggak nawarin."

"Oh jadi Bapak yang laper?" Sindirku.

"Emang makan harus nunggu laper? Dikasih alokasi uang makan dari perusahaan ya dipakailah, laper nggak laper." Cerocosnya panjang lebar sembari meninggalkanku yang masih mencerna perkataannya. 



THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang