Mati satu tumbuh seribu itu cuma berlaku untuk kerjaan, bukan jodoh.
-Kampret pekerja keras.
Jantungku rasanya seperti sedang berdisko, hampir copot. Lima detik setelah aku menyelesaikan kalimat terakhirku di presentasiku namun tidak ada respon dari klien. Sepersekian detik setelah itu beliau langsung berdiri dan tepuk tangan bahagia. "Wah bagus. Good job. Saya suka yang ini."
Aku menghela nafas sangat lega. Lagian kenapa sih responnya lamban begitu, membuat aku hampir kena serangan jantung saja. Kulihat raut wajah Mbak Ranita dan Mas Feri juga terlihat bahagia karena lega. Yes! Kelar juga proyek panjang yang penuh drama ini. Akhirnya yang ditunggu-tunggu ada didepan mata. Libur!
Pak Baskoro klien kami sedang berjabat tangan dengan si bos Dewangga dan Mas Feri. Tidak lama karena dirasa rapat sudah selesai maka beliau pun pergi meninggalkan ruangan dan beberapa staf juga ikut menyusul.
Tersisa tim Mas Feri dan Dewangga. "Good job Fer. Sisanya tinggal bagiannya Ranita kan, kelarin hari ini ntar malem gue cek." Tutur si bos yang moodnya sedang baik. Mas Feri dan Dewangga memang umurnya tidak jauh beda jadi mereka biasa berbicara informal, begitu juga dengan Mbak Ranita yang sama sama lulusan universitas bergengsi.
"Iya Ngga. Eh ini juga berkat Kinan lho yang kerja keras dari seminggu." Mas Feri mencoba membuat imageku terlihat baik.
"Oh." Dewangga hanya berbalik dan melambaikan tangan. Tanpa respon lebih. Oh? Oh doang? Oke aku juga tidak berharap dia memujiku.
"Udah enggak apa-apa Kin.bayangin aja bentar lagi libur." Mas Feri kembali mencairkan suasana. Kalau nggak ada Mas Feri dan Mbak Ranita aku mungkin sudah resign sejak dulu.
**
Jam makan siang adalah waktu terbaik dikantor. Kami biasanya makan di resto ramen seberang jalan. Aku bersama Bang Dira, Bram, Icuk dan Mbak Ranita makan disatu meja. Bang Dira ini bagian engineering C++ dan Bram dan Icuk bagian tester game. Kami hanya akan bisa bertemu di jam makan siang begini.
"Eh undanganku udah jadi lho." Mbak Ranita membuka pembicaraan setelah kami selesai memesan ramen dan sushi.
"Serius Mbak?" Mbak Ranita mengulurkan undangan pernikahannya padaku dan ketiga lelaki disampingku.
"Tanggal berapa Ran?" Tanya bang Dira sambil membuka sampul plastiknya. Kebiasaan nih nanya dulu baru baca.
"Sabtu dua minggu depan. Dateng ya lo pada. Bram dateng lho tapi jangan ngabisin makanan gue." Bram yang kena todong langsung tidak terima. Tapi diantara kami yang berjajar sekarang ini, dia memang satu-satunya kandidat yang makan banyak.
"Bawa cewek boleh kan Ran?" Tanya Icuk dengan gaya cover boy. Dia itu selalu cerita kalau dia sering dikejar-kejar cewek karena famous gitu. Tapi nggak ada yang percaya sih. Setidaknya untuk kami yang dimeja ini.
"Halah paling ujung-ujungnya kalian berdua dateng bareng kan." Skakmat Bang Dira. Itu juga prediksiku. Icuk dan Bram memang dua sejoli. Macam partner in crime gitu. Ujung-ujungnya juga berdua apapun alasannya.
"Tuh loh sama Kinan enggak ada partnernya" Mbak Ranita mulai memancing perjodohan, yang sudah pasti hasilnya nihil.
Aku mendengus sebal. "Males ah, ntar dikira nganterin anak SD Kartinian" Icuk menghinaku.
"Ha ha ha..!! Bener banget. Dikira ngajak adeknya ya." Timpal Bram.
Bang Dira yang sedari tadi menahan pun akhirnya ikutan "Yang dianter pakek becak warna-warni ya. HA HA HA."
"Sialan! Siapa juga yang mau sama kalian." Mentang mentang aku mungil mereka tetap sulit umtuk tidak menganggapku anak SD. Kalau kata Icuk aku nggak punya pacar karena dikira masih dibawah umur.
Itulah alasan kenapa kriteria laki-laki yang kusukai adalah yang tingginya 175-180. Kalau kata Vidi bakalan jomplang. "Lu cuma 150 mau sama yang 180? Mau gelantungan di dengkulnya apa gimana dah?" Makinya sambil tertawa hingga tersedak saat itu. Aku harap tiga lelaki biadab didepanku juga keselek sushi. Lagipula tinggiku 153 ya! Enak saja dibilang 150.
Mereka memang menyebalkan, tapi baik sebenernya. Kalau ada maunya. Tahulah kenapa aku tidak bisa memasukan mereka sebagai kandidat jodoh. Kami terlalu dekat. Bang Dira adalah satu-satunya yang waras. Yang paling dewasa, termasuk kalau membahas masalah 21+ dia bisa sangat lugas. You know, boys things. Diantara pertemanan para lelaki mereka pasti suka membahas yang begituan. Aku hanya dianggap anak kecil jadi mereka sama sekali tidak canggung meskipun ada aku yang notabene perempuan juga.
Makananku belum habis setengah kumakan sudah ada telpon masuk. Vold is calling..... apaan nih si bos nelpon. "Ya Pak?" Aku mengangkat telpon.
"Gimana Pak?" Aku masih bingung " Baik Pak, saya kesana." Aku mengakhiri dengan nada lemah.
"Kenapa Kin?" Mbak Ranita sudah bisa mencium aroma aroma tidak sedap.
"Voldemort nyuruh gue ke ruangannya. Sekarang." Nggak tahu apa lagi jam makan siang. Memangnya apa sih yang mendesak sampai harus saat in juga.
"Mau dapet bonus kali dari si bos." Cengenges Bang Dira.
"Dukun lu!" Aku mengambil pouch dan HP-ku bergegas melesat meninggalkan sushiku yang malang. Oh saladku. Padahal sengaja kumakan diakhir biar nikmat. Shit!
Aku berlari kecil ke gedung kantorku setelah berhasil menyeberang dengan lancar. Sembari mencari ID card ku didalam pouch dan mengalungkannya di leher. Tidak sampai 10 menit aku sudah tiba di kandang singa yang sedang duduk bersandar sambil.. main HP?! I see that you're not really in urgent situation.
"Permisi Pak? Ada apa ya?" Aku memasuki ruangan beraroma yang khas. Parfum si bos.
"Kok lama banget sih?" Gerutunya. Belum apa apa aku sudah sebal.
"Ya maaf Pak, saya kan tadi di seberang." Kilahku
"Ngapain kok di seberang?" Ngapain? Kayanya dia lupa kalau ini jam makan.
"Ya makanlah Pak, ini kan masih jam makan siang." Gerutuku masih sebal. Sushiku saja belum semua tercerna dilambung dan dia masih nanya.
Tidak ada tanggapan. Tandanya dia sudah tidak punya alasan untuk membalas kalimatku. "Ranita bakalan cuti seminggu kedepan. Artinya kalian harus kerja 2x lipat selama nggak ada dia. Ada proyek baru dan aku mau kamu yang kerjain." Dewangga melimpahkan titahnya padaku.
"Gimana Pak? kok saya? Kan saya sudah minta libur." Protesku tidak terimalah. Enak saja.
"Lho kapan?" Dewangga menyampaikan kalimatnya menggunakan nada yang menyebalkan.
"Minggu depan Pak. Saya sudah bilang Bapak kok." Aku masih protes. Sedikit agak ngotot sih sebenarnya.
"Memangnya saya Acc? Udah lah itu emailnya di cek dulu buat kerangkanya kirim ke saya hari ini." Dewangga nggak bisa disanggah. Sudah habislah aku. Hari hari liburku hanya mitos belaka. Yang ada sekarang kerjaan yang bertambah banyak. Rasanya aku ingin pulang.
"Nan," Dewangga memanggil dengan suaranya yang berat seperti Dan Stevens. Mau tak mau aku berbalik lagi "Kamu dateng ke nikahnya Ranita?"
"Ya doain saja Pak, saya masih sehat walafiat sampe saat itu."
Dewangga tersenyum sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEADLINE [FINISHED]
Romansa'Setiap orang akan deadline pada waktunya' adalah kalimat yang tepat menggambarkan kehidupan Kinanthi. Perempuan yang dalam 4 bulan kedepan sudah menginjak usia 27 tahun ini, masih harus mengejar banyak hal. Sebagai mahasiswa semester tua, Kinan jug...