26. Pelarian

4.9K 581 2
                                    

Memberi waktu untuk diri sendiri adalah pelarian terbaik.

-Kampret yang menjaga jarak.


"Mbak gimana kabarnya? Udah lama nggak telpon rumah sih." Ucap Ibu di sela-sela kegiatan mencucinya.

"Oh itu kan Kinan lagi banyak yang dikerjain Buk jadi lupa nggak telpon, hehe." Aku beralasan sambil menancapkan earphone ke ponsel.

"Oh yaudah nggak apa-apa kalo beneran sibuk, Ibu kira kan kenapa gitu."

"OOH.." Aku menjawab seadanya karena sedang sibuk masak didapur.

"Oya Mbak, besok waktu acaranya Aurel Mbak dateng sama siapa?" Jleb. Pertanyaan Ibu ini menghentikan pergerakanku.

"Mmmm.. sama Ibu sama Ayah doong." Candaku.

"Kok sama kita, maksud Ibu temen gitu Mbak." Ujar Ibu pantang menyerah.

"Oooh, ya sama tamu undangan lain kan semua datengnya barengan haha.." Aku tertawa kecut.

"Iya Ibu tahu, maksud Ibu sama siapa yang temen Mbak?"

"Vidi? Anya?" Aku masih berkilah.

"Yang cowok dong. Pacar?" Ibu to the point akhirnya.

Aku menghela nafas. "Belum tahu Buk."

"Ohh, tapi emang udah..." terdengar suara keras dari ujung telpon. "Eh Mbak udah dulu ya, listriknya mati nih. Kayaknya ada yang konslet. Wassalamualaikum." Click pembicaraan dihentikan sepihak oleh Ibu. Untung saja, kalau tidak pasti Ibu sudah tanya-tanya lagi.

Aku mematikan kompor seketika setelah mencium aroma gosong dari wajanku. Oke sekarang nasi gorengku tak terselamantkan akibat melamun. Sudah beberapa hari sejak aku melihat Gilang di rumah sakit. Aku sadar bahwa aku sedang menghindari Gilang dan semua orang tahu itu, maksudku Nadir, Anya dan Icuk. Karena memang hanya mereka yang tahu-menahu soal Gilang ini.

Rasanya sungguh malas sekali dihari libur begini membuatku punya banyak waktu untuk kembali memikirkan Gilang. Aku tahu betul bahwa perempuan cantik di rumah sakit itu belum tentu pacarnya bisa saja teman atau saudara. Tapi mengingat wajahnya yang sedikit Indo sepertinya tidak mungkin kalau saudara. Selalu ada dua kemungkinan, hanya saja aku lebih memilih bersiap untuk kemungkinan terburuknya. Sehingga paling tidak ketika benar Gilang sudah ada pasangan, aku tidak akan terlalu sakit hati.

Aku duduk lemas menatap nasi goreng yang rasanya bercampur aduk dengan aroma gosong, sudah seperti hati ini. Apa pesan makanan lain saja ya? Saat ini makanan adalah pelarian terbaikku, sembari membuka aplikasi pesan antar ada chat whatsapp berkali-kali dari orang yang sama. Gilang. Aku bisa melihat dari notifikasinya bahwa dia mengajakku untuk keluar atau akan kerumahku. Oh no!

Tidak lama ada chat dari telegram. Nadir mengirimiku pesan. Aku memang sudah bilang bahwa sementara chat lewat telegram saja, karena aku malas terlihat online dari Whatsapp.

Nadir : Kinan! Gilang chat gue nanyain lo dong. Jawab apaan nih?

Nadir : Dia mau kerumah kalo lo nggak kerja. Woey!

Mampus! Aku mengetikkan dengan cepat.

Kinan : Plis bilang aja lo gatau gue dirumah apa nggak. Bilang aja gue sibuk banget seminggu ini. Jadi jarang dirumah.

Nadir : SIAP!

Aku menghela nafas lega, kemudian memasang ponselku dengan mode pesawat saja. Biar tidak ada yang menghubungiku. Tidak pikir panjang, aku langsung bergegas ganti baju dan memutuskan untuk berada diluar saja. Di tempat dimana Gilang tidak bisa menemukanku.

**

Tujuanku berujung pada staycation disalah satu guest house dengan rating yang cukup bagus di aplikasi booking online. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, saat aku memutuskan untuk berbelanja dahulu di Pacific Place. Mall adalah salah satu tempat yang hampir tidak mungkin dikunjungi Gilang.

Aku melangkahkan kaki memasuki setiap pertokoan mencari beberapa baju hangat untuk kupakai ke Shinjuku besok. Aku memang bukan tipe perempuan pecinta shooping, kecuali kalau ada diskon yang terlalu meranik tentunya.

Setelah puas memanjakan mata dan sudah mendapat beberapa sweater, baju dan sepatu aku tentu tidak lupa mampir ke toko buku. Mencari-cari kalau ada novel yang menarik untuk dibaca biar selama staycation nanti tidak terlalu bengong. Mencari-cari di rak bestseller aku mendapatkan di pilihan yang tampak menarik.

Seseorang disebelahku mungkin tahu kalau aku sedang bimbang menentukan pilihan, kemudian berkata. "Yang ini aja Mbak bagus kok." Lelaki disebelahku menunjuk sebuah novel bersampul oranye.

Aku menoleh, "Eh, iya thanks." Aku mengembangkan senyum ketika menoleh kearah lelaki tampan disebelahku. Lelaki ini mengembangkan senyum lucunya kemudian berpindah rak lain. Kukira dia adalah pegawai toko rupanya pengunjung juga.

Hanya butuh waktu satu jam di Pacific Place kemudian aku memutuskan untuk lanjut ke tujuan awal. Rasanya seluruh semesta sedang mendukungku karena aku tidak memerlukan waktu lebih dari 30 menit untuk mendapat taksi dan sampai di guest house tujuan.

Aku juga mematikan ponselku setelah mengabari Nadir bahwa aku tidak akan pulang malam ini. Setelah selesai check in aku meletakkan barang-barangku di kamar yang sudah kupilih. Rasanya sungguh nyaman berada ditempat baru sendiri saja, rupanya bukan pilihan yang buruk. Terlepas dari semua rutinitas dan hingar-bingar. Guest house yang kupilih memang masih di Jakarta Selatan, namun suasanyanya sejuk seolah tidak berada di Jakarta.

Setelah makan siang dan rebahan sedikit aku membuka novel baruku dan tenggelam selama berjam-jam. Mungkin kalau bisa bicara sofa yang kududuki sudah mengeluh lelah menopang badan ini berjam-jam.

Separuh novel sudah selesai kubaca saat matahari sore sudah mulai turun. Jam dinding kamarku menunjukan pukul empat sore, saat yang tepat untuk turun melakukan perawatan spa dibawah. Aku yang menyadari bahwa ponselku sudah penuh bergegas meraihnya, menyalakannya kemudian mengecek beberapa pesan.

Sebagian besar adalah pesan dari grup Kampret yang nampaknya sedang membahas hal menarik.

Kamprets

Vidi sent picture

Vidi : Ini mantan lo bukan sih nan?

Amira : Loh iya itu mantannya Kinan. Tian?

Gina : Wadaaww

Anya : Kok lo bisa tau si Di?

Vidi : Relasi gue ceweknya tuh, gue juga baru tahu.

Aku mendownload foto yang dikirim Vidi, rupanya foto Tian memakai setelan jas rapi dengan perempuan yang tengah merangkul lengannya dengan dress panjang putih dan membawa buket bunga cantik. Tian menikah. What?! What a good timing! Melihatnya membuatku menghela nafas teramat panjang hingga Mbak Salon yang sedang memijat kepalaku bertanya.

"Kenapa Kak? Terlalu kenceng ya nekannya?" Tanya Mbak dibelakangku.

"Oh enggak kok Mbak." Aku hanya meringis menatap perempuan itu dari kaca, kemudian menatap ponselku.

Amira : Nggak kaget sih kalo dari Vidi mah.

Gina : Kinan are you alright? Ditinggal nikah mantan?

Vidi : Lho nggak apa-apa lah. Kan udah ada mas G. haha

Kinan : Apaan sih disingkat-singkat. Gombal?

Vidi : Halah gitu aja sok nggak tahu. GILANG.

Anya : Hahaha, sabar ya Nan :)

Kinan : Udah mati rasa nih, ditinggal nikah udah nggak ada sedih-sedihnya haha..

Padahal dalam hati sedih juga sih sebenarnya, bukan karena masih cinta tapi mengingat keadaanku sekarang tidak lebih baik membuatku jauh lebih sedih. Aku sedikit melamun tenggelam dalam pikiranku sendiri kemudian tidak lama ponselku bergetar lagi ada sebuah panggilan masuk dari seseorang yang paling tidak kuharapkan hari ini. Gilang. Alright, fine. Aku menekan tombol hijau dilayar sambil menahan nafas.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang