10. High Heels!

6.8K 785 7
                                    

Kalau pakai heels gausah tinggi-tinggi, kalau jatuh malu.

-Petuah dari teman.


Pertemuan dengan Gilang ini sungguh diluar dugaanku. Aku bahkan tidak ingat punya teman setampan ini. Gilang punya nomerku, apa mungkin hanya untuk kontak-kontakan sebagai teman lama. Tapi ya sudahlah, toh belum tentu dia benar-benar menghubungiku. Aku tidak ingin berekspektasi apapun dengan para lelaki. Sudah lelah, bahkan bertemu manusia-manusia tampan seperti Dewangga, Bang Dira, Mas Danis bahkan Gilang sekarang pun aku tidak bergetar.

Aku sudah kembali bergabung dengan Icuk dan kawan-kawan, rencananya kami akan berfoto bersama-sama khusus orang kantor kami. Gilang juga secara kebetulan bertemu dengan relasinya yang lain sehingga kami akhirnya berpisah. Dia bilang akan menghubungiku kembali, tapi aku ragu. Lagipula aku sedang tidak ingin menceritakan pencapaian-pencapaian selama 26 tahun hidup ini. Well, biasanya kan memang begitu ketika bertemu orang yang sudah lama tidak bersua.

"Ayok Kin, ngapain lo bengong." Bram menyenggol lenganku membuatku sadar kembali ke dunia nyata.

"Oh. Oke." Aku berjalan mengekor di belakang Bram dan Icuk yang sedang asik ngobrol. Di belakangku ada Dewangga yang seperti sengaja berjalan sangat pelan. Aku menoleh kebelakang memastikan apakah aku menghalangi langkahnya.

"Kenapa, buruan jalan. Gue belakangan aja." Si bos ini suka berubah-ubah saat membahasakan dirinya. Kadang saya, kadang gue-lo.

"Oh gitu, biasanya kan yang tua jalan duluan Pak." Sindirku dengan muka datar, kalau sedang situasi santai begini aku berani sedikit kurang ajar sih. Si bos juga tampaknya tidak keberatan. Satu hal nilai positifnya Dewangga adalah dia tidak gila hormat.

Dewangga sedikit menahan tawanya tanpa berkomentar. Dia hanya mengibaskan tangannya mengisyaratkan 'udah buruan'.

Panggung pelaminan yang cukup luas sudah penuh dua barisan para pegawai yang 80 persen adalah lelaki. Aku bisa melihat Mas Feri sudah berdiri tegak di sebelah pengantin pria.

Sedangkan disebelah Mbak Ranita ada Rara, Sherin, Nanda, dan Dian. Selain itu semuanya sudah berjongkok di depan pengantin. Aku berhasil menyelip diantara Icuk dan Mas Feri yang berdiri di sayap kiri. Didepanku adalah si bos yang senantiasa berjongkok. Kupikir dia tidak akan mau pose jongkok-jongkok begitu.

Kami sudah selesai berfoto saat tamu undangan sudah mulai menipis. Aku berpamitan dengan mempelai, kemudian memesan taksi online lewat ponselku. Sudah hampir 10 menit belum ada taksi yang mengambil pesananku. Aku sudah terlanjur berdiri di depan tangga turun pintu masuk.

Satu hal kebiasaan burukku adalah tidak bisa berdiri tenang. Bukannya aku hiperaktif, tapi aku punya kebiasaan membuat gerakan memaju-mundurkan badan dengan kaki tetap tidak bergerak. Ya kalau dilihat dari jauh aku pasti sudah mirip dengan pelepah pisang yang tertiup angin tak berdaya. Aku menjadi terlalu fokus dengan ponselku dan tidak merasakan gerakan badanku ini membuat penekanan berlebih di ujung heelsku.

Kletek!

Aku bisa mendengar suara retak yang berasal dari heels kaki kananku. Mampus! Aku menunduk untuk mengecek apa yang terjadi. Benar saja, lem yang harusnya merekatkan batas antara heels dan sol luarku kini terbuka setengah. Memang tidak sampai patah sih tapi aku yakin sekali kalau aku bergerak selangkah pun pasti akan ada kejadian memalukan.

Kakiku rasanya menjadi kaku setengah mati. Aku sungguh tak berani bergerak seinci pun. Bagaimana ini. Tak ada taksi yang mengambil pesananku sudah 13 menit berlalu dan sekarang heelsku patah. Sepertinya aku terlalu lama tidak menggunakan sepatu ini, sehingga elastisitasnya berkurang. Tapi kenapa harus sekarang? Tidak bisa begini, aku memutuskan untuk mencari bala bantuan. Bang dira? No, nanti pacarnya bisa benar-benar menyantetku.

Bram sudah pulang. Icuk! Aku segera mencari kontak Icuk di Whatsapp. Memanggil Icuk.

"Halo cuk, tolongin dong pleaseeeee.." Aku memohon padanya.

"Apaan?" Tanyanya malas.

"Anterin balik. Please aku udah 13 menit nggak dapet taksi. Heels-ku patah. Ya.. ya .." Repetku, merengek agar Icuk mau berbelas kasihan.

"Yaelah. Ada-ada aja sih. Gue udah keluar dari parkiran nih, lo dimana emang."

"Di depan pintu masuk. Tolongin doong temennya lagi susah." Aku kembali merengek.

"Ngerepotin aja lo ya, yaudah tunggu." Click. Telepon ditutup. Icuk mungkin baik karena malas mendengarku sok imut begitu. Tapi icuk memang sebenarnya baik sih.

Untuk ukuran lelaki dia itu worth it kok hanya saja sepertinya dia belum ingin berkomitmen. Itulah kenapa dia punya banyak gebetan tapi tidak pernah ada yang jadi pacar.

Aku bisa melihat Dewangga sedang berjalan santai mengarah keluar. Mata kami bertemu, tapi karena takut ketahuan aku pura-pura menoleh ke sisi lain. Aku bisa merasakan panik, jantung ini rasanya ingin lepas. Saat mendengar derap sepatu Dewangga makin dekat.

Aku yang tak bisa berkutik pura-pura menatap pemandangan di depanku sambil mengucap doa-doa agar Icuk cepat datang. Dari kejauhan tepat di seberang mataku aku melihat Gilang yang ternyata juga belum pulang, dia tampak masih berbincang seru dengan beberapa orang. Namun saat itu juga dia menoleh ke arahku. Ya ampun, apa aku ini bisa ilmu sihir, telepati atau sejenisnya sih. Kenapa secara kebetulan semua yang aku lihat bisa balik menatapku.

Aku melihat Gilang melambaikan tangan ke arahku saat tidak lama sebuah Honda Civic putih berhenti di depanku. Penyelamatku datang! Dari kursi pengemudi Icuk keluar dengan inisiatifnya menghampiriku mengulurkan tangan.

"I know you need help." Katanya sok keren, dia pasti merasa seperti pangeran berkuda putih di Disney princess saat ini. Well, tapi inisiatifnya ini yang aku suka sih. Membuat detak jantungku yang tadi kena serangan panik menjadi normal kembali. Aku bisa melihat beberapa orang disekitarku membicarakan Icuk yang terlihat sangat gentle saat ini.

"Nggak usah drama deh." Aku tetap meraih tangannya untuk berpegangan erat. Setelah sekian detik akhirnya aku sudah berada di dalam mobilnya. Icuk sedang berjalan ke pintu sebaliknya ketika aku melihat Dewangga yang berdiri di tengah-tengah tangga memperhatikan kami. Ekspresinya tak bisa ditebak.

"Apa gue bilang, ga usah pake heels tinggi-tinggi, kalau jatuh malu kan lo." Icuk menyalakan mesin mobil. Kami melesat menjauh dari venue.

"Hmmm.." Aku melepas sepatuku yang sudah tidak tertolong.

"Makan dulu yuk. Masih laper nih." Ajaknya sambil mengecek maps.

"What?!" Apa dia lupa kalau high heelsku sekarat. "NIH! LIAT NIH! Nggak ada sepatu. Mana kebayaan lagi." Aku merebahkan punggung di sandaran kursi.

Icuk tanpa berkata apapun, meraih sebuah kotak dari belakang dan memberikannya padaku. Kotak berisi sepatu kets putih ukuran 39.

"Punya siapa nih?" Keningku mengernyit curiga, karena ukuran sepatu Icuk itu 41. Apa kakinya mengalami penyusutan.

"Kado ulang tahun buat gebetan gue. Lo pinjem aja dul.." Belum selesai dia mengucapkan kalimatnya sudah ku timpuk dengan tutup kardus sepatu.

"Dasar cowok gila." Aku menghembuskan nafas sebal, bisa-bisanya dia meminjamkan sepatu yang akan diberikan sebagai kado.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang