11. Malam Minggu

6.8K 726 4
                                    

Konsep nongkrong di malam minggu tidak berlaku kalau kamu dikejar deadline.

-Kampret yang berdedikasi tinggi.


Rebahan di kasur adalah yang paling quality time bagiku. Punggungku rasanya mau patah meskipun baru 3 jam di depan laptop. Selepas dari acara kondangan, aku mengecek ponsel yang rupanya ada pesan dari Pak Pram yang meminta revisinya selesai hari senin.

Disaat yang bersamaan Dewangga mengharuskanku mengirim konsep yang kemarin dia minta setelah rapat terakhir. Kakiku saja rasanya masih sangat linu karena berdiri memakai high heels berjam-jam.

Karena takut lengah di atas kasur, aku memutuskan berpindah posisi dengan kerja di ruang tengah. Tidak lupa dengan segelas kopi robusta yang berperan penting bagi kelangsungan mata ini biar tetap terjaga.

Ponselku berdering tepat saat aku selesai menuangkan air panas pada gelasku. Ibu Pertiwi is calling.

"Assalamualaikum Buk. Ada apa malem-malem nelpon?" Sapaku semangat.

"Waalaikumsalam, Mbak lagi ngapain?" Suara Ibu terdengar renyah dari seberang sana.

"Ada kerjaan ini, biasa." Aku mengaduk-aduk kopiku.

"Ooh, ini lho. Ibu mau ngabarin kalo si Aurel anaknya Om Darma habis ngasih undangan tadi." Tutur Ibu panjang lebar.

"Undangan?" Perasaanku tidak enak ini.

"Iya, undangan nikah Mbak. Besok akhir Desember di Jogja, Mbak bisa dateng kan." Sudah kuduga. Aurel kan masih kecil, umurnya saja baru 22 tahun dan sudah akan menikah. Jelas aku datang karena Om Darma masih keluargaku juga. Tapi sepertinya aku harus siap mental, karena pasti akan muncul pertanyaan pertanyaan klise yang menyebalkan.

"Oh kok cepet Buk." Aku duduk di sofa didepan laptop.

"Iya, itu lho calon suaminya kan kakak kelas dia di UGM. Sekarang udah kerja di kantor pajak." Papar ibu dengan semangat. Sebenarnya aku yang tidak bersemangat kalau topik pembicaraannya adalah pernikahan.

"Ohh.." Aku hanya menjawab sekenanya saja.

"Mereka juga pacarannya setahun doang kok Mbak, terus langsung memutuskan menikah," Lanjut Ibu masih bercerita. "Calon suaminya kayaknya baik sih."

Aku bergeming tak ingin merespon. Lagi pula aku juga tidak ingin tahu tentang calon suami Aurel.

"Mbak?" Ibu yang menyadari aksi diamku, membuatku terpaksa bersuara.

"Eh iya buk, terus? Emang calonnya masih muda juga?" Aku berusaha agar terdengar tertarik dengan pembicaraan di malam minggu yang suram ini. Sudah deadline ku tak kunjung selesai, sekarang justru ada pembicaraan yang hanya membuatku semakin tertekan saja.

"Oh itu, enggak kok. Calon suaminya itu seumuran Mbak. Tuh Mbak dia aja lelaki udah gerak cepat begitu lho." Kalimat Ibu yang terakhir ini terdengar ganjil. Apa maksudnya aku juga harus gerak cepat cari suami gitu? Hanya karena aku perempuan?

"Iya. Ibu lagi ngapain?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Lagi nonton TV ini sama adikmu." Oke sebenarnya aku juga sudah tau sejak tadi, karena aku bisa mendengar suara televisi dari sini.

"Ayah sama Patra lagi di joglo depan. Ada kumpulan," Ibu melanjutkan. "Mbak, gimana kuliahnya? Lancar?"

"Lancar kok, hehe." Jawabku cengengesan.

"Yaudah bagus kalo gitu, jangan lama-lama ya Mbak biar bisa ganti mikir yang lain kaya nikah gitu." JLEB! Akhirnya sampai juga ke intinya. Sudah kutebak tapi tetap saja rasanya seperti ditampar pakai sekop pasir. Aku tau diantara intonasi yang halus dan lembut Ibu itu pasti ada keseriusan dari setiap katanya.

"Iya Buk. Siap!" Jawabku pada akhirnya. Pembicaraan di telepon dengan Ibu malam ini sudah berakhir. Aku menghembuskan nafas dengan berat. Rasanya aku tidak ingin memikirkan segala hal mengenai pernikahan. Well, aku bahkan tidak punya pacar, atau siapapun yang bisa dijadikan prospek untuk itu. Buatku menyelesaikan segala deadline ini saja sudah cukup, tidak perlu lagi minta bonus ketemu jodoh.

Kalau kata orang jodoh itu datang dengan sendirinya, aku ingin percaya itu. Meskipun selama 26 tahun kehidupanku ini sepertinya aku belum pernah bertemu orang yang membuatku berfikir 'aha ini dia jodohku', nope. Tapi jika jodoh memang harus diburu dulu, aku bahkan tidak punya waktu untuk itu. Setidaknya tidak untuk saat ini. Tapi Ibu pasti berharap agar aku membawa seseorang yang bisa dikenalkan ke keluarga dia acara Aurel nanti. Aku yakin itu maksudnya.

Apakah aku harus mencobanya? Kalau kata Vidi 'coba aja kan nggak ada ruginya'. Begitu? Aku ini terlalu lama sendiri. Walaupun ingin mencoba mencari pacar, tidak tahu harus dari mana memulainya. Rasanya aku bisa melakukannya segalanya tanpa pasangan. Well, mungkin selagi sahabat-sahabatku juga masih single. Tapi tidak tahu besok, kalau semuanya sudah married. Hati manusia akan selalu berubah.

.**

Aku mendengus kesal, merasakan kopiku sudah dingin.

"Kenapa sih lo? Dari tadi gue perhatiin ditekuk mulu mukanya." Ucap Nadir pada akhirnya. Dia sudah berada kursi seberangku melihat Netflix.

"Si bos ni chat terus nyuruh buru-buru, kayak Ibuku aja." Aku meletakan cangkir kopiku dimeja.

"Kenapa emang Ibumu?" Nadir masih menatap layar televisi.

"Nyuruh cari jodoh." Kusandarkan kepalaku ke lengan sofa.

"Yaudah carilah. Temen lo kan cowok semua. Emang nggak ada yang oke." Dia menunjukan ponselnya ke arahku. Terpampang jelas di layar sebuah postingan instagram ku hari ini. Fotoku dan orang-orang kantor di pernikahan Mbak Ranita.

Aku melengos malas. "Nggak ada yang bener mereka tuh." Ya memang tidak ada yang recommended kok. Icuk itu meski hitam memang lumayan oke, tapi dia itu tidak siap berkomitmen. Bram jelas tidak, dia bukan islam. Bang Dira jelas sudah punya pacar. Sisanya sebagian besar sudah punya istri termasuk Mas Feri.

"Yang anter lo tadi?" Tanya Nadir.

Aku menggeleng. "Nggak. Lagian Nad kita tu temen coy, partner in crime gitulah. Deketnya juga udah ngalahin pacar."

"Hmmm," Nadir tidak berputus asa, di masih men-zoom in screen ponselnya. "Kalo ini oke nih. Cakep amat." Nadir menunjuk pria yang berjongkok di depanku.

"Itu BOS GUE! Gilak aja." Aku melotot sebal.

"Serius?! Kok lo nggak pernah bilang sih kalo bos lo itu kaya aktor hollywood begini?!" Mata Nadir berbinar. "Liat dong, dia jongkok begini aja cakep masa! Apalagi kalau berdi..."

"Auw!"

Dua buah bantal kecil melayang tepat di kepala Nadir. Membuatku semakin kesal saja.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang