4. Situasi Tak Terduga

8K 909 10
                                    

Dari semua yang tidak direncanakan,

Lembur tak terduga adalah yang paling mematikan.

-Kampret yang sedang lembur.


Aku merosot dikursiku setelah membaca email yang dikirim Dewangga. Yang satu ini jelas lebih rumit. Rasanya aku ingin menuntut Dewangga kenapa harus langsung di limpahkan ke aku. Memang tidak ada orang lagi sih, tapi paling tidak biarkan aku bernafas dulu dong. Bahkan sushiku saja tidak sempat kuselesaikan. Tidak punya perasaan.

"Kenapa Kin?" Mbak Ranita menepuk bahuku yang seperti sudah lengser sampai dengkul.

Aku hanya mengarahkan daguku kearah layar komputer. Membaca sekilas Mbak Ranita langsung paham dong. Dia juga tahu bakalan seperti ini.

"Oh, buat peluncuran game baru yang collab sama sepatu itu ya? Tadi Dira barusan cerita pas lo cabut." Mbak Ranita menscroll email di komputerku.

"Wah kalo campaignnya ribet begini harusnya lo dapet bonus sih Nan. Semangat yaa Kinaann. Gue kan masih masuk seminggu, nanti gue bantu deh." Ujarnya menepuk pundakku.

Aku menghela nafas. Masalahnya hari ini aku sedang sangat ingin kembali ke kasurku melepas penat barang sejam. Lagipula aku biasanya lembur dari rumah. Tapi tadi si bos berkilah "Saya butuh secepatnya, kalau kamu pakai balik it takes time. Nggak praktis."

Yang nggak praktis tu pemikiran anda! Rasanya ingin kujawab. Kenapa dari tadi tidak bilang ditelpon saja kalau suruh cek email. Kenapa harus aku yang pergi di ke ruangannya sampai mengorbankan sushi dan saladku.

Menit demi menit berlalu sampa aku pun lupa tidak mengecek ponselku. Tidak menyadari kalau diluar jendela sana matahari telah menghilang dari peredaran. Sekarang sudah jam sembilan lewat dan aku kelaparan. Shit!

Aku sedang tanggung tanggungnya dan lapar laparnya. Mbak Ranita dan Mas Feri sudah pulang. Begitu juga beberapa tim di ruangan ini. Tinggal segelintir orang, aku dan of course Dewangga yang dari tadi tidak berkutik dari ruangannya. Aku heran apa orang itu tidak ada keinginan untuk pulang atau bagaiamana. Sepertinya dia memang lelaki antisosial yang lebih cinta bekerja daripada bersosialisasi.

Aku memutuskan untuk memesan makanan dari aplikasi order online saja karena perutku sudah berdemo tidak karuan. Baru lima menit membuka hape untuk memilih makanan di Go-Food Dewangga menelpon.

"Ke ruangan saya sekarang." Click. Telepon ditutup. Males banget sih kenapa telpon segala, manggil aja dari sana. Toh jaraknya cuma 10 langkah. Atau melambai-lambai seperti boneka Cat WAWAWA gitu. Sedikit-sedikit telpon.

Aku tiba diruangan Dewangga dengan malas. "Layout yang depannya jangan kayak begini dong. Proyek ini pasarnya nggak buat anak TK lho." Aku hanya diam mencatat di notes kecil.

Dewangga sepertinya tidak suka karena aku tidak merespon. "Tidur?"

"Nggak Pak. Iya, nanti diganti lagi." Ucapku memelas. Dewangga menatapku dan ekspresinya sedikit berubah. Sedikit. Aku menghindari kontak mata dengannya, malas sekali kalau ekspresiku terbaca olehnya. Aku sudah tidak bertenaga lagi untuk mendebatnya seperti dua jam lalu.perutku sudah melintir tidak karuan. Karena tidak sarapan pagi dan siangnya malah mubazir.

"Ya udah." Kata Dewangga pada akhirnya. Shit! Aku harus memegang notesku dengan kedua tangan karena sudah mulai bergetar. Semoga Dewangga tidak lihat. Malu dong.

Aku bergegas kembali kubikel, kabur sebelum perutku berbunyi keroncongan. Ini sudah lewat dari jam makan siang, atau pun makan malamku biasanya. Dan kalo mag-ku kambuh saat lembur begini fix! Aku pasti perempuan paling sial hari ini.

Demi menghindari kemalangan yang beruntun, aku melipir ke kitchen sebentar untuk menyeduh teh hangat dan mencari sedikit karbohidrat seadanya. Cuma ada cookies. Yah gula. Mana cukup! Aku mencoba mencari di rak-rak tempat biasa menyimpan kopi dan camilan. Nihil. Di laci sebelah dispenser. Nope. Kulkas? Air semua nggak ada makanan. Heran memang kapan terakir kali diisi sih ini dapur. Tidak ada makanan yang bisa menyelamatkanku.

Aku menenteng teh yang sudah siap dan cookies coklat seadanya. Sembari kembali ke bilik dan mengecek HP. Penasaran dengan kegitatan bos di seberang, aku melongok sedikit keluar kubikel. Karena ruangannya hanya disekat dengan kaca bening, aku bisa dengan mudah melihat bahwa Dewangga sedang menatap layar laptopnya dengan serius. Serem banget sih. Kedua alisnya bertaut dengan tangan menyangga dagunya yang agak kotak. Sekilas terlihat misterius dan cool. Bagi orang baru yang tidak kenal ya. Aslinya mah. Parah!

Setelah memastikan aman, aku beralih melihat layar handphone untuk membuka aplikasi pesan antar online tadi. "Hmm makan apa ya yang nggak pake lama?" Gumamku dengan diri sendiri. Seafood? Jauh semua. Western deh. Tapi lama. Yang deket dari sini... sushi? Oh not again.

Masih scroll-down layar menu sampai tiba-tiba sebuah suara bariton memecah keheningan. "Layoutnya pindah jadi restoran seafood?" Dewangga sudah berdiri di sebelah kubikel.

Ngagetin aja! "Eh Pak. Oh belum Pak" Aku buru-buru mematikan tombol power kemudian meletakan handphone dimeja.

"Loh dari tadi ngapain aja?" Si bos menyilangan kedua tangannya di depan dada.

Ngapain aja? Gila! Baru juga 5 menit keluar ruangan terus bikin teh. "Tadi saya dari kitchen dulu Pak."

"Cari inspirasi?" Cemoohnya.

"Cari makan Pak." Jawabku sewot. Namanya juga ke dapur, ya cari makan dong. Pake nanya.

"Kan tadi dari seberang? Masih lapar?" Ujar Dewangga nggak mau kalah.

Rasanya ingin ku toyor jidatnya yang glowing itu. "Tadi saya nggak sempet mencerna sushi saya karena Bapak suruh keruangan." Saat itu juga perutku rasanya seperti kena serangan shock. Usus ususku seperti dipelintir keras bak cucian basah. Tiba-tiba terasa panas yang membuncah menjalar dari perut bagian bawah naik cepat sampai diafragma. Magku kambuh!

Sial. Aku hampir kehilangan kekuatan untuk duduk tegap. Rasa sakitnya sudah mencapai tulang belakang. Punggung ini ingin menyerah untuk menopang badanku yang ngilu. Tidak! Tahan plis! Tidak boleh tumbang didepan Dewangga. Tapi aku tidak bisa menahan refleks tanganku untuk memegangi perut, membuat isyarat nyata bahwa perutku sedang sakit sakitnya. Ekspresiku, seperti biasa tak bisa disembunyikan lagi. Aku merengut parah, muka yang sudah kutekuk tekuk sejak sore sekarang makin buruk.

"Nan?" Suara Dewangga memecah keheningan, tapi aku diam saja. Rasa sakit ini hampir tak bisa ku tolerir. "Are you oke?"

Tangan kananku berpegangan bibir meja, berusaha mencari kekuatan. "Iya Pak enggak apa apa." Tapi kemudian aku bisa merasakan lilitan dilambung untuk kedua kalinya lebih parah. Aku hanya bisa membungkuk diatas meja.

"Kamu ada sakit mag?" Tanya Dewangga akhirnya setelah aku hanya berdiam untuk waktu yang lama.

"Pak saya boleh pulang aja enggak?" Aku memelas menatap Dewangga yang memandangku serius. Sangat serius, sampai aku bisa melihat rahangnya mengeras.

"Mobil?" Sekali lagi mukanya serius banget.

Aku menggigit bibir bawahku sambil meringis. "Trans."

"Gue anter aja"

WHAT?!

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang