Maaf orang yang anda hubungi sedang sibuk, atau diluar jangkauan.
-Kampret yang tidak ingin diganggu.
Untuk pertama kalinya aku merasa bahwa Dewangga adalah penyelamat hidupku karena si bos memberikan sejumlah tumpukan tugas yang membuatku bahkan tidak sempat memikirkan Gilang. But that was great!
Aku yang sedang mentralisir perasaan sedih dan prasangka buruk ini mencoba mengembalikan pemikiran logisku. Mencoba berfikir logis seolah tidak terjadi apa-apa memang bukan hal yang mudah, tapi juga bukan berati tak bisa dilakukan. Anggap saja begini, kalau sebelum bertemu Gilang hidupku baik-baik saja, maka sekarang membiasakan tanpa Gilang juga pasti bisa.
Paling tidak jika kemungkinan terburuknya terjadi aku tidak terlalu sakit hati lagi karena sudah siap. Kalau kata Anya namanya juga siap jatuh cinta, berati siap patah hati juga. Memang Anya adalah panutan terbaik dalam berfikir logis.
Aku menatap langit oranye bercampur merah muda yang mulai membias dibalik awan lembut didepan mata. Dari kursiku aku bersandar nyaman, sangat beruntung bisa mendapatkan seat di dekat jendela cabin ekonomi yang penuh. Dewangga di sebelahku tampak sedang membaca majalah bisnisnya.
Mungkin bagi dia perjalanan bisnis antar negara begini sudah sangat biasa, tapi tidak buatku. Aku tahu ini kesempatan langka jadi aku berusaha menikmatinya sepenuh hati. Meskipun konteksnya untuk kerja tapi sekalian liburan juga tidak ada salahnya.
Dewangga pun hanya memilih seat di kursi ekonomi bukan bisnis, padahal biaya juga ditanggung perusahaan. Saat kutanya mengapa jawabannya cukup simpel dan menyebalkan.
"Mau bisnis apa ekonomi tuh sama aja, nyampenya juga bareng nggak lebih duluan bisnis. Lagian bosenlah naik bisnis terus." Jawabnya kala itu.
Hampir tengah malam ketika kami sampai di Bandara Haneda Tokyo. Kalau Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur, mungkin di Tokyo bahkan tidak ada istilah tidur bagi di tiap sudut distriknya. Terutama, di distrik Shibuya dan Shinjuku yang terkenal dengan kepadatannya.
Lampu kota berjajar rapi disepanjang perjalanan kami menuju Hotel. Dari dalam taksi aku melihat berbagai jenis gedung-gedung megah yang berjajar kokoh di kawasan Shinjuku. Tampak tidak jauh terlihat Tokyo Tocho yang merupakan gedung pemerintahan di Tokyo dengan dua menara tinggi sekitar 200 meter.
Ekspresiku saat ini sudah jelas terperangah parah, Dewangga pun menyadarinya namun memilih tidak berkomentar. Aku juga tidak terlalu peduli dengan image-ku di depan Dewangga. Ini kali pertamaku menginjakkan kaki di Tokyo, Jepang jadi aku harus totalitas menikmati perjalanan, seperti yang sudah di rencanakan.
Tidak terasa aku sudah menghabiskan waktu setengah jam didalam taksi yang kini telah terparkir didepan lobi Hyatt Regency Tokyo. Setelah menurunkan koper aku bergegas check-in, sementara Dewangga hanya tinggal menunggu petentang-petenteng saja.
"Hai, I would like to check-in two rooms on behalf of Kinan, please. I order by online five days ago." Ucapku kepada perempuan manis bernama Ayaka ini. Namun responnya tampak sedikit bingung sepertinya dia tidak mengerti.
"I'm sorry I can not speak English." Kemudian dia berbicara dalam bahasa Jepang yang aku tidak mengerti juga. Damn it.
Aku menunjukkan ponselku mencari bukti pemesanan booking room. Kemudian perempuan didepanku berbicara panjang dengan bahasa yang aku tidak paham. Aku hanya memijit kening, sembari menatap ponselku mencari aplikasi translator otomastisku.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEADLINE [FINISHED]
Romance'Setiap orang akan deadline pada waktunya' adalah kalimat yang tepat menggambarkan kehidupan Kinanthi. Perempuan yang dalam 4 bulan kedepan sudah menginjak usia 27 tahun ini, masih harus mengejar banyak hal. Sebagai mahasiswa semester tua, Kinan jug...