13. Accidentally

5.8K 712 4
                                    

Ternyata Jakarta itu lebih kecil daripada daun kelor yang paling kecil.

-Kampret yang selalu bertemu orang yang sama.


"Lewat sini Kak," Seorang perempuan yang memakai baju Crew itu menunjukan jalan menuju backstage pada kami. "Tenda yang kiri ya."

"Oh ya, makasih ya Kak." Mas Danis tersenyum ramah, sembari berjalan mengetikan sesuatu di ponselnya.

Aku hanya membuntuti dari belakang dengan patuh. Kami mendekat di jajaran tenda tenda putih tempat para guest bersiap. Konser sudah berakhir dan sekarang aku sangat penasaran yang mana tenda nya Naif tadi. Berharap kalau bisa lihat David dari dekat.

"Oh, Halo bro!" Mas Danis bersalaman seraya menepuk bahu seseorang.

"Piye kabare?" Lelaki tersebut bertanya dengan logat jawanya.

Aku melongok ke depan mensejajarkan baris dengan Mas Danis untuk melihatnya. Apa ini Janu? Lelaki kurus tinggi berlesung pipi itu masih sibuk berpelukan dengan Mas Danis.

"Apiklah. Eh ini kenalin aku sama Kinanthi." Mas Danis menepuk punggungku.

Lelaki tirus ini beralih menatapku. "Oh ini to." Hah? Apa maksudnya ini to? Apa mereka sering membicarakanku?

"Janu." Ucapnya kemudian seraya mengulurkan tangan.

Aku balas menyalaminya. "Kinanthi."

Senyum Janu mengembang menunjukan tingkat kedalaman kedua lesung pipinya. Pantas saja selama tampil tadi selain Liam banyak sekali yang meneriakan nama Janu. Di manis sekali. Padahal tadi di panggung raut wajahnya serius sekali di balik drumnya.

"Eh masuk yok. Tak kenalin sama anak-anak dulu." Ucap Janu sambil masuk ke dalam tenda. Yah kenapa tidak dikenalkan dengan Naif sekalian. Padahal aku berniat pamer ke Nadir. Tapi niat buruk memang tidak berjalan baik bukan.

"Eh kenalin nih temen gue dari SMP, Danis sama Kinanthi." Mas Danis tersenyum ramah. Aku juga tersenyum sambil manggut-manggut sedikit menyapa satu persatu anggota band dari ujung kanan sampai ujung kiri. Namun, ada satu detik aku menghentikan tatapanku pada seseorang di ujung kiri yang sedang duduk bersedekap. Dengan senyum dan tatapan seperti mengamati maling jambu yang ketahuan turun dari pohon.

Wait. Tunggu dulu. Mungkin aku salah lihat atau bagaimana, tapi orang ini familiar sekali ya. Tentunya bukan karena aku melihatnya menyanyi di panggung tadi. Rambut ikal, kacamata, wajah oriental.

No way!! Mas-Mas McD! Oh begonya aku. Bukannya kemarin aku sudah stalking. Kepencet like pula. Mantap jiwa. Duh apakah dia tahu kalau aku sempat stalking ya. No, dia kan artis jadi pasti sibuk.

Ini apakah Jakartanya yang memang sempit, atau manusianya yang bertambah banyak ya? Kenapa aku bertemu dengan orang yang sama? Ditambah lagi dari semua orang kenapa harus dia.

Tetiba aku kembali bisa merasakan rasa malu ku yang sudah lenyap seminggu kemarin. Sekarang orang bernama Liam itu sedang menatapku.

"Hai." Dia menyapa.

Aku hanya memaksakan senyum agar terlihat natural meskipun sekarang rasanya sangat gugup sampai aku bisa merasakan keringat sudah mulai bermunculan. Aku yang ingin sekali kabur entah kemana, justru diseret duduk oleh Mas Danis. Posisi duduk ku ini membelakangi si Liam, namun rasanya aku bisa melihat bahwa Liam masih memelototiku. Mungkin kalau matanya punya kekuatan laser punggungku ini sudah bolong macem Susana karena intensitas melihatnya sungguh luar biasa.

"Kalian habis ini mau kemana?" Janu membuka pembicaraan.

Mas Danis mengecek jam tangannya. "Belum tahu sih, ngopi dulu paling. Ya Nan?" dia menatapku.

"Eh, oh iya boleh." Aku tidak dapat fokus dengan pembicaraan mereka. Aku menghela nafas, mencoba berpikir jernih. Didepanku persis Janu masih ngobrol dengan Mas Danis yang sesekali menatapku.

"Kinan lo ikut aja bareng kita." Janu menatapku dengan senyuman ramah.

"Eh? Ikut ke..?"

"Ngopi besok sore. Mumpung aku belum pulang." Jawab Mas Danis sabar.

"Ohh, boleh deh hehe." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Tidak lama, kami mengakhiri pembicaraan dan berpamitan untuk pulang. Sepertinya Mas Danis tahu bahwa aku tidak nyaman berada disini. Tentu sajalah, ada Liam yang memelototiku terus dan Janu yang berusaha mengajakku bicara namun tak berhasil. Aku menjadi sedikit tidak enak dengan Mas Danis.

Aku keluar duluan dan menunggu Mas Danis diluar tenda. Sembari mengecek ponselku seseorang mengagetkanku dari belakang. "Gimana desainnya sudah jadi?"

Aku menoleh kaget, Liam berdiri di belakangku dengan senyumannya. "Eh? Iya. Udah kok." Aku meringis jujur. Ya aku tidak mungkin mengelak lagi kalau sudah ketangkap basah beginikan. Kenapa sih, hanya masalah seperti ini saja aku berlebihan begini malunya. Orang didepanku ini sepertinya punya bakat mengintimidasi orang lain deh.

"Kalauada yang mau diomongin, bilang aja Kinan. Nggak usah di batin gitu." Liammenyeringai penuh arti.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang