Kenapa mantan selalu terlihat lebih cakep setelah putus?
Apalagi kalau mantannya punya gandengan baru.
-Mantan yang sudah naik level.
Aku masih mencoba duduk dengan tenang di depan Pak Pram. Beliau tampaknya hanya mencoret beberapa halaman saja sisanya bersih. Di dalam hati aku masih melantunkan doa-doa yang semoga bisa mensugesti Pak Pram agar menerima Bab tigaku.
"Yaudah, gini aja," Pak Pram masih membolak balikan hingga lembar terakir. "besok kamu nggak usah dateng bimbingan."
"Kenapa Pak." Aku masih tidak mampu membaca situasi.
"Ya ini saya acc ajalah. Jadi kamu nggak perlu sering-sering bimbingan lagi."
"Emm.. maaf Pak tapi ini beneran?" Aku mulai kehilangan arah. Apakah maksudnya karna memang Babku sudah bagus, atau Pak Pramnya yang males melihat mukaku.
"Loh lha kamu nggak mau?" Pak Pram masih dengan nada jahilnya tapi tatapan datar. Nyawa sudah diujung tanduk masih bercanda aja. Membuatku jadi tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Eh bukannya begitu Pak. Maulah Pak.." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Udah ya itu revisi sedikit aja terus bab terakhir tinggal kedip doang itu."
"Siap Pak" Aku mengeluarkan senyum pepsodent dengan tulus hati.
"Udah sana nanti ditunggu sama calonnya tuh." Pak Pram menyeringai. Aku yang terlambat memahami akhirnya paham bahwa yang dimaksud adalah Gilang. Karena dia memang mengantarku ke kampus hari ini. Dan kami bertemu Pak Pram di basement tadi.
Setelah kelar urusan dengan Pak Pram aku keluar dari ruangan menuju koridor. Dari tangga koridor yang mengarah ke lobi ada gemuruh suara mahasiswa-mahasiswa perempuan. Setibanya dilobi aku langsung paham bahwa sumber suara itu dari sekumpulan mahasiswa perempuan yang berkumpul di sudut ruangan. Memandangi pria berjaket bomber hitam dengan T-shirt senada dan juga jeans hitam. Gilang memang terlihat amat cocok dengan gaya casualnya begini. Benar-benar masih terlihat seperti mahasiswa, padahal dia lebih tua dua tahun diatasku.
Aku datang mendekatinya yang duduk sibuk bermain game di ponselnya. Melihat reaksi perempuan di belakang Gilang aku hanya geleng kepala saja. Yang di perhatikan masih cuek saja.
"Udah?" Gilang melihat sepatu sudah tepat didepannya, kemudian menatapku. Well, dia memang tidak perlu effort besar untuk menatapku di mata dalam posisi dia duduk dan aku berdiri. Karena tahu sendiri ya, aku ini imut-imut hanya setinggi tanaman toge kalau kata Icuk.
"Udah," aku duduk di depan Gilang menghadap ke kerumunan perempuan yang makin gaduh saja. "Tuh lho kamu diliatin dedek-dedek gemas dibelakang, udah pada caper begitu noleh kek biar seneng." Aku menggoda Gilang.
Gilang hanya menghela nafas, "Males ah berisik." Dia masih fokus dengan layar. "Bentar ya Nan, dikit lagi."
"Oke." Tidak lama Gilang sudah selesai dengan permainannya. Kemudian kami memutuskan untuk pergi keburu ada oknum-oknum yang makin riuh dibelakang sana. Aku dan Gilang melewati kerumunan manusia-manusia histeris tadi, sambil sesekali aku memperhatikan ekspresi Gilang. Ternyata datar saja, sepertinya dia sudah biasa ya menjadi perhatian karena tampan. Malah beberapa kali Gilang dengan gimmick membawakan tasku dan memegang bahuku. Dia sepertinya tahu sekali cara membuat wanita-wanita ini porak poranda.
Seusai dari kampus kami tidak langsung pulang karena Gilang ada urusan untuk mencari beberapa perabotan untuk interior kliennya. Jadilah kami menuju toko furnitur langganan Gilang. Aku jarang sekali yang namanya ke toko furnitur, lumayanlah untuk cuci mata.
Kami melangkah masuk ke dalam toko dengan pemandangan awal adalah sofa. Disini benar-benar lengkap dari sofa kecil, samapai ukuran paling besar. Semuanya tertata rapi dan estetik. Seseorang pegawai yang berseragam rapi sudah seperti pegawai hotel menyapa Gilang.
"Eh Mas Gilang, pesanannya sudah ada. Sebelah sini, mari." Mas-mas pegawai ini menunjukan kami ke sisi ruangan yang lain. Selama berjalan ada beberapa perabotan yang cukup menarik perhatianku, membuat kakiku berhenti otomatis.
"Eh aku liat-liat dulu yah." Aku memberi kode Gilang agar mengurus urusannya dulu. Aku beralih ke arah kursi-kursi santai berwarna hijau pastel yang lumayan lucu. Wah ini kalau diletakkan di depan TV sepertinya nyaman sekali.
"Kinan?" Suara dari sebelah kananku mengagetkanku. Tampak sebuah wajah yang sudah lama tidak kulihat, bahkan hapir kulupakan. Tian, mantanku tiga tahun lalu. Orang terakhir yang membuatku benar-benar tidak ingin menjalin hubungan dalam jangka waktu panjang. Bukan karena masih cinta, melainkan karna dia meninggalkan rasa sakit yang tidak mungkin kulupakan.
"Oh, Hai" Sapaku mencoba menutupi rasa kaget.
"Kamu ngapain disini?" Dia melontarkan pertanyaan retoris.
"Liat furnitur." Aku menaikkan alis.
"Oh, sendiri?" Tanya Tian lagi, dia melontarkan senyum andalannya sejak dulu. Oke dia memang tidak berubah, tetap narsis.
"Enggak sih." Aku sedikit melirik ke jemari Tian apakah dia sudah memakai cincin, dan rupanya belum.
"Eh lo tambah cantik aja Nan." Basi! Iyalah masa tambah ganteng. Dia melontarkan jurus puja puji macam apapun aku tidak akan melelah. Asal tahu saja Tian ini memang begitu manis dimulut saja tapi. Namun, melihat ekspresinya sepertinya dia sedikit tersipu. Itu tandanya menurut dia aku memang tambah cantik.
Aku hanya tersenyum karena tidak ingin terlalu menghiraukan Tian ini. "Lo masih kerja di.."
Belum selesai kalimat Tian, sebuah suara memotongnya. "Nan." Gilang tampak mendekat dari kejauhan menuju tempatku berdiri.
Aku menoleh kea rah Gilang hanya tersenyum. Gilang kini berdiri tepat disebelahku, memegang pundak tentunya. Sudah jadi kebiasaannya. "Eh Lang, ini Tian," aku sedikit ragu. "Temenku." Ujarku kemudian.
"Eh Tian, mantannya Kinan." Kata Tian kepedean. Membuatku membuang pandangan.
"Gilang," dia menyalami Tian kemudian menatapku. "Pacarnya Kinan." Membuatku hampir melotot. Oke tidak apa-apa. Kalau gandengannya seperti Gilang sih pasti Tian minder. Terlihat dari ekspresinya yang agak kaget.
Tian hanya bisa berkata, "Oh" kemudian dia tampak seperti mengalihkan topik. "Eh kalo gitu gue kesana dulu ya. Bye." Tian menyerah.
"Itu mantan lo?" Tanya Gilang tersenyum menatap Tian yang mulai mejauh.
"Ya, gitu deh. Lebay kan." Aku terkekeh.
Gilang hanya mengulum senyum sambil mengangguk setuju. "Kenapa dulu putusnya?"
"Biasalah, merasa aku terlalu baik buat dia. Terus usut punya usut dianya yang udah ada cewek baru. Terus Cuma berapa bulan ngajak balikan, bilangnya nggak ada yang lebih ngertiin dia ketimbang aku. Basi banget kan." Paparku panjang.
"Terus lo mau gitu?" Gilang penasaran.
"Enggaklah. Aku masih ada akal sehat Lang."
"Oh, pinter." Gilang hanya tertawa.
"Anyway, itu kan udah tiga tahun lalu. It was passed." Aku berjalan percaya diri dengan Gilang disampingku. Tentunya aku tidak mempertanyakan soal kenapa Gilang mengaku kalau dia pacarku. Aku tahu, itu hanya untuk menyelamatkanku saja dan kalau tahu gandengannya seperti Gilang sih aku tidak keberatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEADLINE [FINISHED]
Romance'Setiap orang akan deadline pada waktunya' adalah kalimat yang tepat menggambarkan kehidupan Kinanthi. Perempuan yang dalam 4 bulan kedepan sudah menginjak usia 27 tahun ini, masih harus mengejar banyak hal. Sebagai mahasiswa semester tua, Kinan jug...