16. What if I..

5.8K 694 7
                                    

Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau.

-Kampret yang ingin seperti orang lain.


Jakarta hujan hari ini, rasanya seperti anugerah. Sudah seminggu ini cuacanya benar-benar super panas, entah karena polusinya bertambah atau karena memang cuacanya saja yang tidak bersahabat. Yang jelas aku sekarang senang sekali. Menatap bulir-bulir hujan yang kini membanjiri atap-atap mobil parkiran Monks.

Aku dari tempat dudukku menatap dari dalam ruangan hening kafe yang sedang lenggang di jam kerja. Aroma Americano dari gelas menusuk-nusuk hidungku. Aku mengalihkan pandangan dari luar kembali ke layar laptopku. Oke saatnya kembali ke realita.

Hari ini aku memilih bekerja diluar saja, toh tidak ada meeting. Ponselku diatas meja bergetar. Anya menelpon.

Aku mendengar Anya menyapa diseberang sana. "Halo Nya. Ada apa?"

"Eh kamu lagi dimana nih?"

"Lagi di Monks. Why?" Aku menyeruput sedikit kopiku yang masih panas.

"Ngecengin cogan itu mulu nih?" Katanya iseng.

"Yaelah su'udzon terus sih. Kerja nih." Ucapku sambil melirik ke Dave yang sedang di pantry. Dia melihatku dan aku hanya membalas menyeringai.

"Ha..ha.. ya kali kan kemarin habis jalan sama artis sampai lecet-lecet." Aku menatap sikut kananku yang diplester terbentur pintu. Anya sepertinya akan membahas ini sepanjang pembicaraan kami deh.

"Iyanih, harusnya aku tuntut ganti rugi kali ya. Haha.. tapi nggak lagi deh sumpah." Ucapku menyerah.

"Kenapa sih emang? Orangnya gimana Nan?" Aku bisa mendengar suara beberapa orang dari ujung telepon. Tampaknya Anya sedang diluar.

"Gimana ya Nya. Dia tu agak idealis deh. Mau ngobrol sama dia juga susah. Nyambungnya cuma yang musik-musik gitu. Mana menurutku dia tu agak star-syndrome gitu lah." Aku menghembuskan nafas berat.

Anya tertawa tak percaya. "Masa sih? Kok kayanya cool gitu?"

"Ya maka dari itu. Nggak ngerti juga aku. Awalnya aku maklumin lah. Mencoba terbuka kan nggak salah ya. Tapi kok lama-lama malah makin yakin kalo nggak cocok." Aku yang sangat jarang jalan dengan lelaki untuk tujuan cari pacar ini merasa sangat canggung dengan semua ini. Untuk memulai sesuatu yang baru, adaptasi dan akhirnya berharap. Bahkan aku sudah lupa bagaiman rasanya pendekatan.

Ditengah-tengah obrolan kami aku melihat beberapa pengunjung memasuki ruangan. Tiga perempuan cantik mencari tempat duduk di dekat tangga. Seseorang berbaju abu-abu yang tampak seksi dengan rambut hitam panjang sesiku. Perempuan yang satu lagi duduk didepannya tampak sangat stylish dengan setelan blazer strip berwarna senada baby blue. Perempuan satu lagi tampak elegan mengenakan dress pendek hitam.

Wah ini kalau ada adegan di film-film geng perempuan cantik yang membuat semua orang menoleh ke mereka, ya ini. Merekalah orang yang tepat untuk penggambaran didunia nyata. Menatap orang-orang itu rasanya membuatku tampak buruk melihat diriku sendiri.

"Oh iya, Kinan. Aku kan tadi mau ngasih tau kalo temen kita si Laras mau nikah, minggu depan. Tadi gue ketemu orangnya terus dia ngasih undangan." Papar Anya panjang kali lebar kali tinggi.

Aku menyandarkan bahu sembari menatap sneakers putihku dibawah meja. "Oh gitu. Terus? Aku dapet undangannya?"

"Mmm enggak sih. Apa kamu mau ikut aku kondangan bareng?" Ajak Anya.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang