My boss is like a box of chocolate, I never know what I gonna get from him.
-Bos yang penuh kejutan.
Aku menghembuskan nafas lega saat melangkahkan kaki keluar ruang meeting. Akhirnya terangkat juga sebagian bebanku. Sekarang saatnya aku menuntaskan titah Pak Pram karena seluruh presentasiku diterima, dan tinggal koordinasi dengan orang lapangan untuk campaign ini.
Aku berjalan sumringah ke kubikelku saat Mbak Ranita menepuk pundaku. "Lega ya Kinan?" Dia tersenyum memahamiku.
"Iya nih, sekarang bisa berkehidupan sosial aku." Aku meletakkan laptopku di meja.
"Iya sana, main tipis tipis udah bisa, nggak usah berharap cuti." Ujar Mas Feri sembari menyandarkan punggungnya dikursi.
Aku duduk santai sembari bermain ponselku, mengecek notifikasi Bebas Tugas.
"Kinan." Suara bariton Dewangga menyadarkanku.
Mbak Ranita menepuk pundaku, memberi kode 'tuh dipanggil'. Aku menoleh ke kiri, Dewangga berdiri sambil tangannya dimasukkan ke saku.
"Ke ruangan saya." Dewangga menuju ke ruangannya tanpa menunggu responku.
Apa dia masih ada perlu ya, tapi yasudahlah ikuti saja. Aku sedang tidak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk dari pada merusak suasana hati. Aku beranjak setelah meraih notes kecil dan bolpoinku di meja.
Tanganku meraih gagang pintu ruangan kaca milik Dewangga. Dari tempatku berdiri Dewangga terlihat sedang menerima panggilan telepon dari seseorang. Meskipun suaranya cukup keras namun aku tetap tidak dapat menangkap pembicaraannya karena dalam bahasa Belanda. Tampaknya dia sedang berbicara dengan kakeknya.
Si bos ini memang ada darah blasteran Indonesia-Belandanya, orang tuanya yang kaya raya pemilik perusahaan batubara adalah warga Indonesia asli. Sedangkan kakeknya adalah orang Belanda. Dari info yang aku dengar Dewangga ini dulunya tinggal di Belanda tapi entah alasan apa dia kemudian berpindah ke Jakarta. Maka, tidak heran kalau Vidi dan Nadir saja mengakui kalau si bos ini setampan aktor Hollywood. Kalau kata Nadir seperti Ian Somerhalder.
"Hik." Aku menahan cegukanku yang tak henti sedari rapat tadi.
Dewangga membalikkan badannya menyadari kehadiranku, kemudian memberiku isyarat untuk menunggu. Aku mengangguk, kemudian duduk di kursi depan meja Dewangga. Di mejanya tertulis papan namanya bernamakan Dewangga Sjoerd W.
"Nou, zorg voor je gezondheid. Bye." Si bos menutup panggilannya kemudian menatapku. "Sorry."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum dari kursiku. "Hik."
"Oke, Kinan saya mau kamu yang take over jobnya Dian ya buat tugas yang ke Shinjuku bulan depan." Papar Dewangga tanpa basa basi.
"Hah. Gimana Pak?" Aku bengong.
"Kamu take over jobnya Dian," Dewangga menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Dian kan cuti mulai bulan depan."
"Hik. Kenapa saya Pak yang take over job Mbak Dian?" Aku tidak dapat memahami perkataannya. Dian kan sekertaris, kenapa ambil dari anak grafis? "Apa nggak sebaiknya pegawai lainnya saja Pak?"
"Pegawai lainnya kan sibuk, tahu sendiri bulan ini kita padat." Kilah Dewangga santai.
"Jadi maksud bapak saya nggak sibuk? Hik" Aku tersinggung.
"Nggak gitu, kamu kan bisa remote working nggak seperti yang lain. Udah, saya yakin kamu juga pasti bisa. Saya kan nggak mungkin nyuruh anak tester atau development ngatur jadwal saya di Shinjuku besok." Aku sebal, karena Dewangga ada benarnya. Tapi malas sekali kalau harus double job, ya meskipun gajinya juga double.
Aku diam, tidak tahu harus merespon apa. Aku sedang memikirkan segala kemungkinan.
"Sanggup kan?" Dewangga meminta konfirmasi. "Kinan?"
Aku menatapnya lama, Dewangga terlihat berharap. Apa aku terima ya sekalian jalan-jalan ke Jepang. Tapi..
"Nan?"
"Hik." Dewangga tampak sedikit terkejut mendengarku yang hanya cegukan. Seperti sedang menahan tawa.
"Oke saya anggap itu jawaban iya." Si bos menyimpulkan. Lagi-lagi dia selalu menyimpulkan terlebih dahulu, tapi kalau ku sanggah pun tidak akan berhasil.
3. Baik, Jaga kesehatan ya.
***
Kalau ada didunia ini manusia yang bisa banget membuat mood orang naik turun, Dewangga pasti salah satunya. Baru tadi siang saat rapat dia sempat memuji kerja kerasku, setelah puluhan caturwulan tidak pernah. Lalu kemudian dia memberiku tugas lain yang bahkan bukan kerjaanku.
Ya memang sih, sulit dikantor ini menemukan orang yang bisa take over job itu. Bukan karena sulit tapi ya karena tidak mungkin saja. Di kantor ini hampir seluruh umatnya adalah lelaki. Yang perempuan semuanya menempati posisi yang tinggi dan jauh lebih sibuk dibandingkan aku.
Aku sendiri, merasa takut kurang kompeten tapi sebenarnya adalah hal baik untukku unjuk diri sih. Tapi kenapa harus sampai Jepang. Sudah begitu kesana dengan Dewangga pula. Ada sih bagian tim lain yang juga akan berangkat tapi di hari yang berbeda, karena Dewangga sendiri datang hanya untuk penandatanganan kerjasama dengan pihak klien.
Mbak Ranita yang sudah membawa tas menepuk pundaku. "Balik Kin, ngapain bengong."
"Udah nggak usah dipikirin, itung itung lo liburan kan." Mas Feri yang biliknya didepanku juga tampak bersiap pulang.
"Iya... iya.." Sahutku.
Aku menatap jam tanganku sudah menunjukan pukul 16.26 memang sudah saatnya pulang. Aku mengemas beberapa barang ke tasku. Sedangkan ponselku berbunyi beberapa kali menandakan pesan WhatsApp masuk.
Gilang: Nan, lagi dimana?
Tampaknya sudah sejak lima belas menit yang lalu Gilang mengirimiku pesan.
Kinan : Masih di kantor, mau balik. Gimana?
Tidak lama ada pesan masuk lagi.
Gilang: Kantor lo dimana? Gue jemput deh.
Aku sontak mengetikan balasan.
Kinan: Nggak usa|
Aku ragu. Kemudian menghapus apa yang sudah kuketikan lagi, dan menggantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEADLINE [FINISHED]
Romance'Setiap orang akan deadline pada waktunya' adalah kalimat yang tepat menggambarkan kehidupan Kinanthi. Perempuan yang dalam 4 bulan kedepan sudah menginjak usia 27 tahun ini, masih harus mengejar banyak hal. Sebagai mahasiswa semester tua, Kinan jug...