30. Waktu Yang Tepat

5.3K 628 8
                                    

Kenapa perempuan sering bilang nggak apa apa, meskipun kenyataan sebaliknya.

-Jomblo yang berusaha tegar.


Anya menjadi tempatku bersandar semalaman suntuk. Dia kupaksa mendengerakan ceritaku tentang Gilang, semalaman lewat telepon. Pembicaraan panjang kami pun berakir sekitar mendekati subuh waktu Tokyo. Dan kini hasilnya aku bisa melihat kedua kantong mata yang bengkak karena menangis dan begadang.

"Shit!" Aku melihat di kaca pantulan mata yang benar-benar terlihat habis menangis. Aku tampak kacau. Belom lagi kalau Icuk dan Bang Dira lihat pasti sudah jadi bulan-bulanan. Aku segera beralih ke wastafel untuk mencuci muka dan maskeran. Untung aku tidak lupa membawa masker khusus kantong mata. Paling tidak mata senduku tidak akan terlalu kentara.

Hari ini adalah hari besar, karena acara inti akan berlangsung seharian ini. Setelah bers bersiap-siap tidak lupa menggunakan make up, rupanya tidak buruk. Aku tidak tampak seperti wanita cengeng yang habis ditinggal mati peliharaannya.

Aku mulai berangkat ke gedung pameran, meskipun badanku terasa pegal-pegal entah karena jalan jauh selama di Shibuya, atau karena aku salah posisi tidur semalam. Aku memposisikan punggung dan leherku saat bersandar di taksi tapi tetap saja tidak menemukan posisi yang enak.

Dewangga sibuk membaca email dari notenya, dengan tampang serius layaknya psikopat yang siap membunuh mangsanya. Mungkin kalau notenya itu makhluk hidup sudah teriak-teriak minta dilepaskan.

"Ngeliatin apa?" Dewangga tiba-tiba buka suara, tanpa melirik sedikitpun ke arahku. Aku yang rasanya seperti ketangap basah ngintipin orang mandi ini buru-buru mengalihkan pandangan. Apa kubilang, dia benar-benar punya indra keenam tampaknya.

Sekitar pukul sepuluh kami tiba di venue, beberapa orang menyambut Dewangga di depan Hall. Aku langsung menuju stand perusahaan kami bergabung dengan tim lain. Semua persiapan tampak rapi begitu juga stand stand perusahaan lain.

Ada dua perusahaan game lainnya yang juga berasal dari Indonesia, mereka juga tampak cukup mengagumkan. Kalau sudah pameran begini yang berbinar binar jelas Icuk tentunya. Sebagai gamer, dia pasti keranjingan untuk ikutan main game game baru yang dihasilkan dari pengembang-pengemaban berbakat di manca Negara.

"Hai bro!!" Icuk menyapaku dengan berlebihan.

"Apaan sih cuk." Aku memukul lengannya, kemudian dibalas dengan rangkulan di leherku yang sakit.

"Heh sakit tau!" Aku mengusap tengkukku yang berdenyut.

"Nan, lo begadang? Apa habis nangis?" Bang Dira tiba tiba bertanya.

"HAH? Masih keliatan?" Aku panik buru buru mengaca.

"Oh iya juga, gue kok nggak sadar. Lo kenapa Nan?" Icuk ikut ikutan.

"Nggak apa-apa." Aku membuka tas mencari cermin.

"Kenapa sih cewek selalu bilang nggak apa-apa padahal sebaliknya?" Protes Icuk.

Aku mengabaikannya. "Duh padahal udah pake maskara sama eyeshadow lhoh." Aku memperbaiki riasanku.

"Maskara tuh buat alis?" tanya Icuk tiba-tiba.

"Bulu mataa cuk."

"Bukannya itu celak ya?" Icuk menggaruk kepala tidak mengerti. Aku hanya menghembuskan nafas, Bang Dira juga hanya menggeleng-geleng kepala.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang