22. MR (MAY BE) RIGHT

5.5K 578 1
                                    

Hobi boleh random, tapi jodoh jangan.

-Kampret selektif.


Sinar matahari pagi sudah menelisip masuk diantara ruas-ruas gorden jendelaku. Sudah cukup untuk membangunkan tidurku di sabtu pagi ini. Aku terbangun ketika menatap jam dinding kamarku masih menunjukan pukul 05.48 pagi. Perutku rasanya masih sedikit kembung, tapi sudah lebih baik.

Aku memaksakan diri untuk beranjak dari kasur agar tidak terlalu pegal. Nadir pun tampaknya masih tewas di kasurnya, karena belum ada tanda-tanda kehidupan dari kamar sebelah.

"Wih pagi nian bangunnya." Suara Nadir mengagetkanku. Rupanya sedari tadi dia sudah berada di dapur.

"Loh, kamu juga tumben amat udah standby di dapur jam segini." Aku mendekat ke kulkas.

"Gara-gara alarm lupa belum gue off-in semalem, jadi jam segini udah melek deh." Nadir tampak sudah selesai memanaskan air. "Mau ngopi? Sekalian gue mau buat susu."

"Teh aja deh, libur dulu kopinya." Aku bergegas membasuh wajahku di kamar mandi setelh mendapatkan konfirmasi dari Nadir.

Ponselku bergetar diujung sofa saat aku dan Nadir duduk memandang acara TV. Siapa yang pagi begini menelfon. Kulihat nama yang tertera dilayar ponsel bertuliskan Gilang is calling...

Aku menatap jam dinding seraya memencet tombol hijau di layar, memastikan bahwa memang masih pukul 06.15.

"Halo, Lang." Sapaku.

"Hai, udah bangun?" Suaranya terdengar masih serak.

"Iya, ada apa kok jam segini nelpon?" Dari sudut mataku aku bisa melihat Nadir tersenyum centil penuh keingin-tahuan.

"Mmm.. nggak papa kan kemarin gue bilang mau nelpon. Lo mau sarapan bareng nggak?" Aku bisa mendengar Gilang menguap diujung sana.

"Mmm.." Aku melirik Nadir, sambil mengisyaratkan kata makan dan dia mengangguk tanpa ragu. "boleh, mau jam berapa?"

"Setengah delapan ya." Jawab Gilang pada akhirnya.

"Oke sip." Setelah berbasa-basi sedikit aku mengakhiri percakapan.

Disebelahku Nadir dengan tatapan menghardiknya sudah bergeser duduk tepat disebelahku persis. Tentu saja dia meminta penjelasan. Saat kuceritakan apa yang kami bicarakan Nadir menjadi kelewat semangat. Dia sudah seperti Vidi kalau untuk urusan lelaki. Terlebih lagi lelaki yang berhubungan denganku, matanya pasti sudah berkilat-kilat.

"Tuh kan Kinan, gue bilang juga apa. Fix ini mah. Gilang tu jelas-jelas memperlakukan lo tuh istimewa."

"Udah deh Nad, nggak usah bikin aku berharap deh." Aku sebenarnya memikirkan bahwa Gilang memiliki kemungkinan untuk menjadi propek pacar yang sempurna. Secara fisik jelas oke, sikapnya juga tetap baik seperti dulu, kadang jahil sih.

"Ya habisnya dari pada lo cari random banget kaya kemarin." Nadir menyilangkan tangannya di dada.

"Masih mending aku nggak main Tinder." Mendengar ucapanku Nadir memukulku dengan bantal.

"Awas ya lo main aplikasi dating, lo tu emang hobi banget sama hal-hal random ya. Heran gue. Nggak sekalian aja tuh ikutan biro jodoh, atau acara macam take me out gitu." Nadir bersungut.

"Iya, iya. Ngapain juga main begituan." Aku tersenyum sembari menjauhkan diri dari Nadir. Mengecek layar ponselku dan menghapus aplikasi yang baru saja ku download meskipun belum kubuka sama sekali. Tinder.

***

"Wah enak juga ya , udah lama nggak makan bubur ayam." Ujar Gilang menyuapkan sesendok penuh bubur ayam kemulutnya.

"Lah emang biasanya kalo sarapan pake apa?" Didalam benakku yang namanya sarapan tuh ya antara bubur ayam atau lontong sayur. Selebihnya cemilan.

"Biasanya jus doang, sandwich paling kalo laper banget." Kata Gilang tetap menatap mangkuk bubur ayamnya.

"Oh, pantesan kamu keliatan kelaparan banget gitu." Aku menyeringai sembari menyuap sesendok kenikmatan dunia ini.

"Emang keliatan banget ya?" Gilang menyeringai membuat matanya semakin minimalis. Astaghfirullah, cakep.

Aku hanya mengangguk-angguk salah tingkah. Namun, tidak lama Gilang menyadari ada telpon dari seseorang yang membuat ekspresinya kembali serius. Matanya terlihat sangat tajam dari sebelah, seperti omongan tetangga.

Gilang mengangkat telepon dengan tenang, sesekali aku bisa melihat otot pelipisnya mengeras. "Halo." Dia mulai berbicara sambil memberiku kode tanda 'aku angkat telpon dulu ya beb'. Oke mungkin tidak pakai 'beb'. Maafkan aku yang mulai halu ini.

Tapi yang jelas Gilang tetap di tempat duduknya. Mungkin karena letak meja kami ini berada paling jauh dari gerobak bubur ayam yang tampak ramai itu. Maklum kami makannya memang di pinggir jalan.

"Mmm. Nggak. Nggak perlu Ma." Raut wajah Gilang tampak tidak senang. "No, I can do that alone. I don't need that." Kali ini nadanya tampak makin kesal. Siapa sebenarnya yang menelpon.

Tidak lama dari pembicaraan tersebut, Gilang tampak menutup telepon sambil memijat-mijat kening. Aku sebenarnya penasaran, hanya saja aku merasa tidak perlu menanyakan apa yang terjadi. Toh nanti dia akan cerita sendiri, atau siapa tau dia memang tidak ingin cerita denganku.

"Eh habis ini ada acara nggak?" Gilang menyadarkan lamunanku.

"Weekend biasanya aku tewas di kasur doang sih." Jawabku menghabiskan sisa sisa bubur. Gilang hanya tertawa mendengarku.

"Oke berati habis ini lo acaranya nemenin gue ya." Gilang tertawa jahil.

"Kemana?"

"Kemana aja yang penting bisa buat refreshing." Kata Gilang tidak memberikan jawaban pasti.

"Timezone yuk!" Aku bersemangat.

"Serius?" Gilang sepertinya terkejut mendengar pilihanku. Tapi kemudian wajahnya men jadi makin sumringah. "Lo suka tempat begituan juga?"

"Iyalah, seru tau. Cuma udah lama banget nggak kesana." Well, Jakarta memang tidak seperti Jogja yang kalau main opsional terbaik adalah Pantai, Waduk, atau Pengunungan Pinus. Kalau disini ya ujung-ujungnya mall lagi mall lagi.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang