Kalau sejak awal sudah ragu, lebih baik tidak sama sekali.
-Jomblo realistis.
"HUAAH!" Aku menguap sembari merebahkan punggungku di kasur hotel. Waktu di Shinjuku menunjukkan pukul 00.33 saat ini. Aku tersenyum puas sudah memperoleh banyak koleksi foto selama pergi ke Shibuya tadi. Makan di Hachigatsu no kujira, ke kuil Toyosaka Inari Jinja, dan berjalan di Cat street.
Aku yang rasanya sangat malas bangun kembali terpaksa beranjak dari kasur karena ponselku berdering beberapa kali. Ada telepon dari seseorang yang sedang kuhindari.
"Halo?" Aku mengangkat telepon dengan nada biasa.
"Halo Nan? Mm... lagi ngapain? Lo sibuk banget ya, susah banget dihubungin." Gilang membuka pembicaraan dengan rentetan pertanyaan.
Aku melihat jam, di Jakarta masih setengah sebelas malam. "Mau tidur sih, iya lagi banyak kerjaan."
"Besok ada waktu nggak?" Gilang terdengar seperti sedang memohon.
"Mau ngapain Lang?"
"Kalau bisa sih mau kerumah, atau gue anter aja kerjanya ya?" Pintanya.
"Mm Lang, aku nggak bisa," Aku memikirkan kata-kata yang tepat. "Aku lagi di Jepang sekarang."
"Hah? Serius?" Gilang terdengar kaget.
"Iya." Jawabku pendek. Entah kenapa ada sebersit perasaan bersalah dihatiku karena membiarkan Gilang tidak tahu apa-apa. Tapi kan aku memang sedang menghindari dia.
"Kok lo nggak bilang sih, hal gede kayak gini?" Dia terdengar kesal. Wait, kok dia yang marah sih?
"Ya karena ini tu kerjaan Lang dan kamu juga nggak perlu tahu, kan nggak ada hubungannya."
"Kok gitu sih? Ini tuh Jepang lhoh Nan, Jepang. Kok kaya gitu lo nggak bilang sih. Terus berapa lama disana? Sendiri?" Suara Gilang terdengar biasa, tapi aku bisa merasakan kemarahan yang dia tahan diujung sana.
"Kamu marah?" Aku menahan nafasku. "Kenapa marah Lang? Memangnya kita ini apa? Kok kamu sampai begini? Kenapa aku yang harus laporan semua ke kamu? Sedangkan kamu enggak." Aku mengatupkan rahangku agar menahan suara yang sudah mulai bergetar.
"Kinan?"
"Kamu bahkan nggak pernah bilang kamu udah punya pacar, tapi kenapa kamu harus posesif ke aku?"
"Pacar? kok lo mikir gitu? Gue ngak punya pacar Nan?"
"Cewek yang kamu peluk di RS minggu lalu. Dia nangis dipelukanmu. Aku tau dia bukan saudaramu Lang." paparku dengan mata berkaca-kaca.
Gilang menghembuskan nafas berat. "Jadi lo liat Alexa? Dia saudara gue Nan. Anaknya Om Hanung kan dia nikah lagi sama orang Inggris."
Aku tercekat.
"Kinan?" Suara Gilang berubah lembut. "Kinan maafin gue ya. Nggak pernah cerita ke lo apapun sampe lo salah paham. Ya..?"
Aku tak menjawab. Air mataku sudah terlanjur menetes. Sebersit rasa bersalah muncul kembali. Apakah ini kabar baik untukku? Tapi kenapa masih terasa janggal.
"Kinan.."
"Jadi kita ini apa Lang?" Aku berusaha menetralkan suara yang masih bergetar.
Gilang terdiam.
"Aku capek Lang punya hubungan yang nggak jelas."
"Gue sayang sama lo Nan. Gue juga pengen jadi pacar lo. Gue sebenernya pengen nembak lo dengan proper nggak kaya gini.."
"Terus apa? Aku tahu kita sama sama suka, terus apa? Pacaran? Nikah?" repetku panjang, membuat Gilang terdiam.
"Itu kan bisa nanti Nan, yang penting sekarang gue suka sama lo Nan. Dari lama, dari jaman SD gue sering ngerjain lo. Gue tuh.. suka liat lo terus. Pengen ngejagain lo terus Nan. Gue kira nggak akan ketemu lo lagi, tapi ternyata gue ketemu lo di nikahan."
Aku hanya bisa memejamkan mataku mendengar repetan cerita Gilang, mencoba mencerna semuanya. Apa ini? Seharusnya aku senangkan. Tapi pikiranku makin kacau, tangisku tak terbendung.
"Tapi kenapa kamu ragu Lang?" Ucapku serak.
Gilang berhenti sejenak, "Gue mau kok kita pacaran."
"Untuk nikah?"
"..." Gilang diam. Aku tahu dia ragu. Dia belum berani berkomitmen sejauh itu. "Aku nggak tahu Nan."
Aku memijit pelipisku. "It's alright Lang."
"Nan, apa kita coba dulu. Mungkin setelah pacaran sama lo, gue jadi yakin dan siap.."
"Lang," aku memotong pembicaraannya. "Udah bukan saatnya kita mencoba hal-hal seperti itu. Kita bukan anak SMA. Aku nggak ada waktu untuk semua itu. Tiga tahun lagi aku udah tiga puluh, dan untuk bergantung dengan hal-hal yang nggak pasti kaya gini nggak bisa Lang.."
"Yang penting kan kita sama sama suka Nan. Kita ini special. Gue bisa jamin itu"
"Hati manusia itu selalu berubah Lang." Kataku akhirnya.
Gilang diam. Aku diam. Kita sama-sama tahu bahwa itu benar. Baik aku dan Gilang sadar bahwa hanya cinta saja tidak cukup tanpa komitmen. Kami sama-sama sudah dewasa, tahu betul bahwa mungkin ini bukan jalannya.
Aku juga tidak dapat menyalahkan Gilang yang tidak berani berkomitmen, karena menikah adalah keputusan besar. Mungkin memang begini seharusnya. Lebih baik berhenti sejak awal, sebulum lebih sakit lagi nantinya.
Aku menyenderkan punggungku di kursi dekat jendela kaca kamar hotel. Melihat banyak kendaraan merayap pulang pergi dibawah sana. Beginilah akhirnya, we know better, so we should better go..
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEADLINE [FINISHED]
Romance'Setiap orang akan deadline pada waktunya' adalah kalimat yang tepat menggambarkan kehidupan Kinanthi. Perempuan yang dalam 4 bulan kedepan sudah menginjak usia 27 tahun ini, masih harus mengejar banyak hal. Sebagai mahasiswa semester tua, Kinan jug...