32. Jalur Bawah Tanah

5.1K 625 5
                                    

Di kantor bos itu bak seorang ibu, dia tahu kapan kamu bohong.

-Kampret yang gagal bersembunyi.


Aku keluar dengan menutup perlahan pintu ruang sidang, sambil menahan nafas. Raut muka pertama yang kulihat adalah wajah bahagia si Bram yang duduk tepat di depan pintu.

"Gimana?" tanya Bram bersemangat.

"Kata penguji mereka udah bosen liat aku disini terus, jadi ya di lolosin aja gitu." Aku menyeringai.

"Asikk!!" Bram refleks merangkulku bahagia.

"Ah nggak asik, kok lu nggak dibantai sih." Icuk beranjak dari duduknya masih manatap ponsel, "Hah! Monyet banget!" dia merutuki dirinya karena kalah bermain game.

"Cie sarjanaaaaa! Sarjanaaaa basiii hahaha!" Icuk menghina, tapi aku sedang sangat bahagia sampai menganggapnya sebagi pujian.

"KINAN!!" Alya dan Amira berlari kecil dari lorong dengan tangan kosong. Alright, jangan harap ada yang bawa hadiah saat kamu lulus aja telat.

**

"Mbak, siapa tuh?" Ujarku pada Mbak Ranita saat keluar dari ruang rapat. Mbak Ranita tahu betul maksudku merujuk pada seorang lelaki muda dengan rambut setengah gondrong berkacamata.

"Oh itu anak baru buat divisi kita." Ujar Mbak Ranita santai, "Desain grafis." Dia menambahkan.

"Serius?" Aku bersemangat, "Wah makin punya alesan buat resign nih." Aku berbelok ke kubikelku.

"Lo mau resign?" Mbak Ranita melotot. "Yah kerjaan gue tambah banyak dong."

"Sabar, kan ada tuh si gondrong. Aku training sebaik mungkin deh biar nggak nyusahin kamu, haha." Aku menyengir membuat Mbak Ranita menghela nafas.

"Wah, parah lo Nan. Dewangga udah tahu?" Mbak Ranita berbisik batas ditepian kubikel kami.

Aku menggeleng.

"Wah, ati-ati lo, dia itu instingnya tajem kalo ada yang mau resign. Lo kan ketebak banget."

"Santai, aku bakalan ngajuin resign kalo pas udah diterima di tempat lain lah." Jawabku santai sambil memainkan ponsel.

"Tapi udah apply kan? Lo tetep harus punya backup plan Nan." Ujar Mbak Ranita memberi saran. Dia sangat tahu bagaimana bos kami, karena dia sendiri juga sempat ingin resign tapi selalu gagal.

"Wah wah! Ada sarajana baru nih, selamet ya Nan!" Mas Feri meletakkan segelas Latte di mejaku.

"Thanks ya." Aku mengangkat cup starbucksku dan menyeruputnya.

"Akhirnya, jadi kapan nih gue dapet undangan nikahnya?" Mas Feri menyindir.

"Rese lu Mas!" Aku menimpuknya dengan kotak tisuku. Suara gaduh dari kubikel kami tentu saja membuat seseorang mengecek apa yang terjadi.

"Ada apa?" Dewangga menghentikan langkahnya di depan kubikel kami.

"Ini lho Kinan habis sidang. Kasih selamat dong." Mas Feri masih setengah tertawa.

"Oh, gue kira apaan." Dewangga berlalu begitu saja, "Kinan, gue mau Ice Americano sekarang." Ujarnya kemudian masuk keruangannya, duduk dengan nyaman. Alright, harus ditahan. Setidaknya dalam waktu dekat aku tidak akan melakukan seluruh perintah Dewangga lagi.

**

12.07

Mbak Ranita : Nan lo dimana?

Kinan : Lagi interview nih, ntar aku balik sebelum jam makan siang kelar deh.

Aku memasukkan ponselku kedalam tas, kemudian tersenyum ke perempuan di depanku sambil menegakkan posisi dudukku. Sudah lama tidak interview kerja, rasanya cukup nervous juga. Perempuan yang tampak masih muda ini memberikan beberapa pertanyaan diluar dugaanku namun dapat kuatasi dengan cukup baik. Paling tidak, tidak ada adegan tergagap, ngeblank berkepanjangan atau drama-drama interview pada umumnya.

Sekitar kurang dari satu jam aku sudah keluar ruangan dengan hati super lega sekali. Aku mengecek jam tanganku sudah menunjukan pukul 12.57 artinya aku harus buru-buru kembali ke kantor karena akan ada rapat jam 14.00 dengan tim lapangan untuk acara besar minggu depan.

Setelah mendapatkan taksi dengan cepat kilat aku sudah sampai di depan lobi kantorku. Aku bisa merasakan ponselku berdering, dilayar menunjukkan Mbak Ranita sedang mencoba menghubungiku.

"Halo Mbak," Aku mengangkat telepon sembari berjalan menuju lift.

"Nan lo dimana?" Suara Mbak Ranita terdengar panik.

"Ini di lagi nunggu lift, kenapa sih?"

"Dewangga majuin rapatnya jadi jam satu limabelas. Buruan!" Mbak Ranita setengah berteriak.

"What?!" Aku melihat jam tanganku menunjukkan pukul 13.10. "Mampus gue. Oke 5 menit!" Aku buru-buru masuk seketika saat lift terbuka, memencet tombol flat kantorku. Pintu lift hampir mau menutup saat seseorang mengganjal pintu tersebut dengan sebuah tas dan membuatnya terbuka lagi. Dewangga!

Mataku refleks melotot menyadari Dewangga mulai masuk satu lift denganku. Mampus, harusnya aku sudah siap diruang rapat saat inii dengan berkas berkas bukannya masih di lift. Alasan apa ya yang tepat.

"Dari mana?" Suara Dewangga terdengar datar. Aku tidak bisa menebak moodnya saat ini.

"Oh tadi makan siang diluar Pak, sama temen. hehe" Shit! Aku kenapa sih pake cengengesan segala.

"Makan siangnya di Pacific Century Place?" Kata-kata Dewangga membuatku hening. 

Mampus! He knows! Dia tau aku habis interview! Apa yang harus kulakukan, mana aku masih harus menghadapi Dewangga selama rapat nanti. Kinan, you'll die.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang