Part 6

2.6K 309 31
                                    

Kadang kepo sama sudut pandang pembaca lain (bcs saya juga pembaca), kira-kira kalau nggak ngasih vote karena emang ceritanya jelek, nggak sesuai harapan, karena penulisnya masih penulis baru yang nggak dikenal banyak orang, atau merasa rugi gitu kalau ngasih vote?

But yeah, no prob. Saya bakal tetep up cerita disini cuma biar ide-ide nulis di otak nggak hilang, sekaligus latihan buat konsisten nulis at least seminggu sekali.

Buat masalah ada yang baca, mau vote, komen, kritik di work ini, bukan hal yang penting buat saya :)

.

Untuk pertama kalinya sejak mereka mendeklarasikan bahwa mereka lebih dari sahabat melainkan saudara, Renjun dan Jaemin tidak bertemu satu sama lain dalam waktu yang lumayan lama.

Biasanya Renjun menyempatkan setiap akhir pekan untuk pulang ke kediaman keluarganya dan memaksa Jaemin untuk berkunjung pula. Sejak menikah, Renjun dan Jeno memutuskan untuk memiliki kediaman sendiri. Sebuah apartemen mewah di kawasan elit.

Dan sekarang sudah genap lima bulan dua pasang sahabat bak saudara itu hanya bisa berhubungan lewat video call. Itupun tidak bisa dipastikan setiap hari. Hanya jika Jaemin sempat atau ia tidak terlalu lelah selepas dari kantor.

Kakeknya tiba-tiba mengirim Jaemin ke Tokyo untuk mengurus perusahan disana yang hampir gulung tikar.

Selalu. Selalu seperti itu. Tugas terberat akan dilimpahkan padanya dengan dalih dia adalah cucu tertua. Tapi Jaemin tau itu hanya alasan bahwa ia sebenarnya cucu yang tidak diharapkan dan hanya dimanfaatkan kepintarannya.

Awalnya kakek tua itu hanya menugaskan dirinya. Tapi ia tentu protes jika sekretaris bodohnya itu tidak ikut. Oke, dia akui sekarang. Ia merasa tidak bisa melakukan banyak hal jika tidak ada Mark.

Nyonya Lee yang sudah pulih dari rasa bersedihnya akibat insiden pengangkatan rahim Renjun sangat bersemangat mendengar Jaemin dan Mark pergi ke Jepang berdua. Seperti akan terjadi sesuatu pada mereka berdua saja. 

Hah, Jaemin merasa bersalah tidak dapat mewujudkan impian Nyonya Lee itu. Sampai kapanpun ia tidak akan bersama Mark. Tidak mau dan tidak sudi. Jaemin harus membicarakan hal ini dengan Nyonya Lee kapan-kapan agar beliau tidak terus berharap dia bisa bersatu dengan anak sulungnya. 

"Na Jaemin! Ayo sudah sampai!" Jaemin mendesis marah tidur singkatnya terganggu. 

Memang jarak antara bandara dan apartemen tempat mereka tinggal beberapa waktu ini tidak begitu memakan banyak waktu. Harusnya Jaemin tidak tidur. Ia malah jadi pusing sendiri.

"Sampai aku sudah menurunkan semua koper dari bagasi kau tidak turun juga, kubiarkan supir taksi itu membawamu entah kemana!"

"Ngomong-ngomong dia terus mencuri pandang pada pahamu sedari tadi," bisik Mark menambahi.

Jaemin langsung membuka matanya akibat kalimat Mark yang terakhir. Sialan!

Ia keluar dari taksi kemudian melakukan sedikit peregangan. Aih, ini masih siang tapi dia sangat mengantuk!

"Ck! Kalau pakai pakaian minim bahan itu jangan banyak tingkah! Banyak yang memandangimu sejak tadi." Saat melakukan sedikit peregangan, crop top Jaemin tertarik keatas mempertontonkan perut ratanya yang putih mulus. 

Mark memasangkan jaketnya pada tubuh Jaemin. Dalam jarak sedekat itu Jaemin memandangi Mark. Kulit seputih susu. Mata besar. Bibir merah. Rambut hitam legam. Hidung mancung. Ah, sekretarisnya ternyata punya wajah yang lumayan juga.

"Minhyung.. aku baru tau kau ternyata tampan"

Mark yang tadinya menunduk untuk memasangkan resleting jaket, mendongak untuk menatap Jaemin. Jarak mereka juga masih terlampau dekat. Jaemin mengangkat kedua alisnya melihat pipi Mark yang bersemu merah.

Both / Norenmin ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang