Part 24

2.2K 221 22
                                    

warn : sekali ngetik tanpa dibaca lagi. kalo ada typo dan tata bahasa yg aneh ya harap maklum :)


-0-


five years later..


Jaemin memutar gantungan kunci berbentuk Namsan Tower di tangannya.

Ini adalah hadiah terakhir yang Jaemin dapatkan melalui Renjun. Entah dari siapa gantungan ini, ia sudah lupa.

Dan yang lebih menyebalkan adalah, hadiah-hadiah selama masa kehamilan yang selalu dibawakan Renjun, bukan hanya berasal dari Nyonya Lee, Nyonya Huang, dan Renjun saja. Ia baru mengetahui setelah beranjak meninggalkan negara kelahirannya bahwa dari sekian banyak hadiah itu, Jeno juga turut serta sesekali memberikannya hadiah.

Jika begitu, gantungan kunci ini juga memiliki kemungkinan berasal dari Jeno.

Jaemin benci fakta itu.

Saat mengetahui hal itu pertama kali, Jaemin sudah berniat untuk membuang benda yang berada di genggamannya itu. Tapi lalu ia urungkan mengingat hanya itu satu-satunya benda yang mengingatkannya pada Korea yang ia bawa.

Ia tidak merasa perlu membawa hadiah-hadiah yang berhubungan dengan keperluan bayi. Atau membawa tumpukan novel romansa yang tidak lagi menarik di matanya pasca ia melahirkan anaknya. Dan tentunya menolak gagasan membawa piano yang ukurannya sangat tidak mungkin dibawa-bawa dalam kondisi mendesak walaupun dia ingin. 

Jadi dengan segala keterpaksaan ia tetap menyimpan benda ini dan selalu membawanya kemanapun ia pergi.

Karena terkadang ia rindu rumahnya.

"Nana.."

Jaemin tersentak dari lamunannya.

Sebuah kepala dengan rambut sebahu berwarna ungu menyembul dari balik pintunya.

"Kenapa Chan?"

"Mau ikut ke Chiang Rai?"

Jaemin mengerutkan keningnya, mengingat sebuah memori dari kepalanya. "Untuk apa lagi? Bukankah kita sudah kesana dua minggu yang lalu?"

Haechan membuka pintu lebih lebar agar ia bisa masuk sempurna di ruangan Jaemin. "Aku tidak tahu, Mae yang mengajak."

"Ke Wat Rong Khun lagi?"

Haechan mengendikkan bahunya. "Mungkin." 

Perempuan itu duduk di pegangan kursi yang diduduki Jaemin. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil gantungan kunci yang sebelumnya sempat digenggam Jaemin.

"Rindu rumah?"

Jaemin memilih bungkam. Ia tidak suka dengan pembahasan ini karena tau kemana arah pembicaraan Haechan selanjutnya.

"Sudah lima tahun, kau ingat?" Haechan tetap melanjutkan walaupun mendapat kebisuan dari sahabatnya.

Jaemin tersenyum miring. Lima tahun ya? Apa dia ingat? Tentu saja. Ia bahkan menghitung setiap harinya sejak ia meninggalkan Korea.

"Kau tidak ingin pulang? Memangnya apalagi yang kau tunggu? Masih tidak memaafkan Jeno? Memang apa yang perlu dimaafkan? Kalian tidak ada yang melakukan kesalahan. Merasa bersalah pada Renjun pun tidak perlu karena dia yang menginginkan ini semua."

Dalam hati Jaemin mengikuti setiap perkataan yang diucapkan Haechan karena saking seringnya Haechan menceramahinya dengan kalimat itu hingga ia hafal di luar kepala.

"Kau tidak ingin melihat buah hatimu?"

"Kenapa kau tega membiarkan mereka jauh dan tidak mengenali pusat dunia mereka. Yang memberi mereka kehidupan. Yang memperjuangkan nyawa mereka agar dapat merasakan dunia. Kurasa kau begitu egois."

Both / Norenmin ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang