21

2K 131 57
                                    

Sebelum kalian membaca cerita ini, aku mau minta maaf karena baru bisa next hari ini.

Jadi, kenapa aku bisa lama ngga up cerita? Sedikit curhat ya,

Nenek aku sakit, jadi aku ngurus warung sendiri karena tanteku harus jagain nenek. Btw, warungku ada di tempat nenek.

Alhasil, aku cuma bisa ngetik ±100 word tiap hari. Baru deh selesai hari Senin kemarin. Niatnya, mau aku publish hari itu juga. Tapi, hari itu sakitnya nenek kambuh. Bener-bener antara sadar ngga sadar beliaunya.

Jadi, aku mengurungkan niat buat publish chapt ini. Megang hp aja ngga sempat apalagi up cerita.

Hari Selasanya tepat hari ini, Qodarullah, nenek aku sembuh. Iya, sakitnya hilang. Tuhan lebih sayang beliau. Tuhan ngga mau beliau terus-terusan ngerasain sakit, jadi Tuhan manggil dan meluk beliau.

Sekali lagi maaf karena baru bisa up sekarang. Dan, aku minta doanya ya, maaf juga karena curhat panjang lebar.

...

"Sekarang kamu pilih, mau aku pecat mereka atau kamu ceritakan semuanya?"

Setelah kejadian tadi, mas Hady langsung mengintrogasi banyak hal di rumah. Tapi, aku yang bungkam membuatnya belum mendapat banyak informasi.

Sampai akhirnya pilihan itu keluar begitu saja dari mulutnya.

"Jangan dipecat, mas. Kasian, kalau mereka tulang punggung keluarga gimana?"

"Astaghfirullah... Yola..." ucapnya penuh penekanan sembari tangannya mengusap kasar wajahnya.

"Aku bingung, kamu itu baik atau bodoh, sih?"

Deg...

Pertanyaan mas Hady barusan, membuat hatiku sedikit terasa sakit. Ia...baru saja mengatakan aku bodoh, bukan?

Sadar akan air mata yang hampir keluar, aku menundukkan kepala dan memejamkan mata. Berusaha mengatur deru napas, agar aku tak lepas kendali di depan suami.

"Kamu mau kasih perlindungan ke orang yang jelas-jelas udah nyakitin perasaan kamu? Sampai-sampai kamu lebih memikirkan ucapan mereka daripada suami kamu sendiri?"

"Ta..."

"Aku ngga peduli mereka mau tulang punggung keluarga atau bukan! Kalau kerjaan mereka di kantor cuma menggunjing, lebih baik aku pecat sekalian!"

"Mas..."

"Aku ngga ngerti lagi sama kamu. Rasanya, aku ngga pernah dihargai sebagai suami!"

Aku mendongakkan kepala, berusaha menatap manik mata mas Hady yang memperlihatkan amarah.

"Apa yang membuat mas berpikir demikian?"

Sebisa mungkin, aku menurunkan nada bicara. Karena seperti itulah ibu mengajariku, jangan meninggikan suara di depan suami.

"Karena kamu yang tiba-tiba minta buat kerja, padahal uang dari aku aja masih lebih dari cukup buat memenuhi kebutuhan kita. Kamu ngga kekurangan uang, kan? Buktinya uang yang aku kasih aja jarang banget kamu pakai. Kenapa?"

"Karena...saya...sudah terbiasa belanja seperlunya, mas"

"Terserah, deh. Aku bakal pecat mereka besok"

Mas Hady meninggalkanku begitu saja. Ia berjalan keluar rumah dan suara mesin mobil terdengar. Mungkin, mas Hady pergi.

"Sekarang aku harus bagaimana?!" tanyaku pada diri sendiri, diiringi dengan air mata yang mulai mengalir.

My Husband My Heaven ✖ DKS ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang