23. Perceraian

1.6K 140 20
                                    

   Pagi seakan menyambutku dengan cepat. Semalaman penuh isak tangis bukanlah hal mudah kulalui setelahnya. Jungkook sudah bangun lebih awal menyiapkan sarapan untukku, meski itu harus berakhir di kloset kamar mandi.

"Aku akan membawamu ke dokter," usulnya yang mungkin sudah kesepuluh kali ini.

"Tidak perlu," tolakku.

"Dari semalam kau tidak makan apapun, kau pucat Seah, biar dokter memeriksamu."

"Aku baik-baik saja," tandasku sembari pergi meninggalkan bunyi air kloset yang terbuang. Jungkook dengan lembut mempersilahkanku untuk menggapai lengannya jika saja aku kesulitan berjalan. Aku menggapainya. Tubuhku yang ringkih mendesak untuk segera duduk di pinggir ranjang. Rasanya beban berat mengalung dipundakku. Dadaku masih terasa penuh sesak oleh bekas tangis yang mendalam.

"Aku siapkan air hangat?" saran Jungkook. Ia terlihat khawatir.

Bagaimana tidak, apapun yang kucoba masukkan kedalam tubuhku harus keluar dengan sia-sia. Ia masih menganggap aku harus seperti ini karena Yoongi, meski jujur rasanya perutku benar-benar tidak menginginkan sesuatu mengisinya.

"Aku tidak punya pakaian ganti," ucapku.

"Kau bisa memakai pakaianku." Jungkook berjalan ke arah almari lantas memilah beberapa pakaian. "Mungkin masih ada, aku menyimpan beberapa pakaian waktu sekolah menengah keatas, ya, walau masih kebesaran untukmu setidaknya itu agak kecilan," gumamnya.

Aku tersenyum. Bagaimana pemuda seperti Jungkook hidup seorang diri di apartemen ini sepanjang hidupnya. Ketika pandanganku terpendar untuk meneliti setiap tata letak kamarnya aku baru sadar ia pemuda yang rapi, mungkin juga kesepian.

Sudah berapa bulan ya Tuhan aku tidak kesini.

Apartemen dengan satu kamar berserta ruang tamu yang menyambung dapur begitu sangat sederhana. Aku menganggap diriku teman karibnya namun yang aku tau hanya ia pindah ke sini setelah kami memutuskan masuk ke universitas yang sama-atau lebih tepatnya ia mengikuti kemanapun keinginanku.

Jungkook tumbuh di panti asuhan, ia pernah bilang memiliki saudari perempuan dan diasuh waktu umurnya masih sangat kecil. Hanya itu yang kutahu, rasanya sangat hampa menyadari kesendiriannya selama ini.

"Nah! Ini," serunya seraya menyodorkan pakaian yang masih terawat meski umurnya cukup usang.

Kepalaku menunduk, entah seberapa dalam penyesalanku serta separah apa luka hatiku karena Yoongi, aku tidak peduli lagi.

"Jungkook ... Maafkan aku."

"Untuk apa lagi Seah?" suara Jungkook mengalun lembut. "Semalaman-tidak, tapi setiap jam. Sudah lupakan semuanya, kau tidak bersalah jangan minta maaf. Aku akan menjagamu."

Satu kecupan Jungkook mendarat di puncak kepalaku. Tubuhnya membungkuk, wajah kami saling berhadapan hanya beberapa centi, mungkin ia bisa mencium betapa masamnya napasku saat ini.

"Sudah cukup, okey, kita lupakan semuanya dan akhiri ini. Aku sudah memberitahu Nyonya Kim, aku sudah berjanji bukan akan mengurus semuanya. Setelah ini kita ke mansion. Nyonya Kim menyuruhku untuk membawamu pulang pagi ini."

"Ibu?" Mataku sedikit melebar. Rasanya setiap nyali dalam tubuhku terhisap hilang menjauh. Ini sulit, sangat sulit.

"Kau tidak perlu khawatir, aku sudah berjanji pada Nyonya Kim untuk menjagamu. Aku akan selalu ada disisimu Seah."

"Apa Ibu kecewa, apa dia akan baik-baik saja," rancauku penuh kecemasan. Jungkook menggapai daguku berusaha memberikan tatapan tenang. Aku baru sadar mataku menggenang saat Jungkook menggeleng untuk memberikan isyarat agar aku tidak perlu menangis lagi.

The Untold Truth (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang