Aku mengangkat koper terakhir dari bagasi mobil. Pindahan seperti ini mengingatkanku waktu pertama menginjakkan kaki di mansion keluarga Min. Waktu itu Yoongi mengangkat semua barang-barangku, dan untuk sekarang rupanya aku harus belajar mandiri karena ia sudah tertidur di sofa ruang tamu apartemen. Mungkin ia kelelahan, sebab baru tadi sore ia pulang kerja kami langsung boyongan ke sini.
Mau bagaimana lagi, kedua orangtua Yoongi menguatkan keinginan mereka agar kami segera pindah. Bukannya tidak sayang, tapi alasan ibu yang setiap saat nyaris membuatku tercekat, bahwa mungkin kami akan lebih nyaman bulan madu jika hanya berdua saja. Tentu saja Yoongi menolak, tapi perintah Ibu lebih kuat untuk membuatnya tunduk.
"Yoongi-ssi, Yoongi-ssi," aku mencoba membangunkannya. Tubuhnya bergerak gusar. Matanya mengkerut kuat dan berpaling membelakangiku dengan menghadap ke arah senderan sofa.
Aku mencoba lagi menggerakan lengannya, karena sangat dekat aku bisa melihat jelas keletihan yang bersarang di tubuhnya dengan banyaknya keringat yang keluar.
Tanganku mengambil remote AC dan menekan tombol tambah, namun belum sempat aku kembali Yoongi sudah terduduk dengan rambut diacak-acak oleh tangannya sendiri; sebuah kebiasaan yang sudah dua bulan ini memasuki memori kepalaku.
"Kau sudah bangun? Aku sudah menyiapkan kamarmu." Sapaku.
Ia tidak menghiraukan dan lebih memilih mengecek poselnya.
"Jika kau lapar aku akan memasak sesuatu. Kau belum makan malam kan?" tanyaku.
Yoongi meletakan ponsel, kepalanya menengadah.
"Sekarang di sini kita tidak perlu bersandiwara. Dan tolong, tidak usah bersikap peduli padaku." Ucapnya, lalu berdiri dan berjalan menuju kamar.
Aku terdiam dalam ketidakmampuan menjawab pernyataannya itu. Dalam hening aku menangkap cibiran bernada sinis.
"Terkadang aku muak juga kau bersikap seperti ini."
Hanya itu lalu disusul oleh hentakan pintu yang tertutup keras.
Aku terdiam dalam bisu yang mana air mataku telah mengendap. Hatiku sakit ia bersikap sedemikian.
Yoongi memang tidak pernah menganggapku ada, ia selalu acuh tak acuh terhadapku. Ketika di mansion pun ia hanya akan berbicara jika itu penting, itu juga hanya di hadapan ayah dan ibu mertua. Lalu sekarang-
Aku seakan hanya bayangan hitam, aku merasa tidak memiliki ruang, aku seperti tidak berguna meski sudah jelas menyandang status sebagai istrinya.
Seharusnya aku pergi bukan? Atau bilang kepada orangtuaku mengenai Yoongi yang tidak memperlakukanku selayaknya seorang istri. Atau bahkan mengadu tentang ia yang sudah memiliki wanita lain.
Tapi hatiku malah berkata lain,
Aku seakan tuli. Mulutku membungkam seolah mataku ini buta. Bukan karena bodoh atau naif. Tapi aku....
Aku telah jatuh tersungkur jauh lebih dalam. Aku berada di titik ingin bertahan.
Aku mencintainya.
***
Malam terus berganti siang, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Berjalannya waktu semakin mengikis ketegaran dalam diriku. Ini sudah di minggu kedua kami menempati apartemen, dan di setiap detik itu pula aku merasa hancur.
Yoongi tetap sama, dingin dan angkuh seakan baginya aku ini tidak ada.
Sunyinya apartemen menjadi saksi bisu akan kehambaran hubungan kami. Ia tidak pernah menganggapku untuk puluhan kali usaha yang kulakukan demi membuatnya sekedar melirik. Dari memasak, mencuci pakaiannya, membersihkan apartemen, sampai menjadi seorang istri yang baik, yang baginya mungkin itu hanya sekedar angin lalu.
Baik sedemikian aku tetap bertahan serta berharap ia bisa menerimaku yang entah itu kapan. Bagiku selagi ia tidak menyuruhku pergi, berarti kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini masih ada.
Aku tahu, bertahan memang lebih sakit dari melupakan, namun suatu kesabaran bukannya lebih indah daripada menyerah?
Jadi, aku ingin bertahan meski nyatanya ini menyiksaku. Lagipula kebahagiaan orangtuaku lebih penting. Untuk sekarang mungkin aku hanya bisa memanipulasi kebahagianku sendiri agar mereka tidak kecewa.
Tadi siang contohnya, ibu menghubungiku dan bilang bahwa saat ini ia sedang sakit dan aku berjanji akan menjenguknya bersama Yoongi. Entah ia mau atau tidak tapi malam ini aku sudah begadang untuk menunggunya.
Seperti malam-malam lalu, aku terbaring di sofa ruang tamu menatap jam dinding yang jarum pendeknya telah tembus angka 12. Namun Yoongi tidak kunjung menampakan diri dari pintu masuk di ujung sana.
Sebenarnya sudah menjadi kebiasaan baginya untuk pulang larut, dan aku mulai terbiasa menunggu meski terkadang dadaku tertekan menatap daun pintu itu.
Seakan pintu itu memberikanku sebuah harapan antara iya dan tidak. Karena sesekali memang tidak terbuka sampai pagi, yang jelas tidak menghadirkan sesosok lelaki nan dingin dengan tubuh rampingnya yang sangat kurindu meski kemunculannya hanya sekedar membawa lara.
Sejenak pikiranku dikuasai oleh keadaan ibu. Perasaanku meremang tatkala memikirkan Yoongi yang tidak mungkin mau kuajak pergi. Pikirku semakin gundah ketika ditemani detak jam yang terus menyelingi sunyinya pendengaranku. Langkahku mengarah ke jendela dan menatap penuh harap ke bawah sana.
Napasku terbuang lelah. Aku sangat benci menunggu terlebih yang kutunggu adalah sebuah ketidakpastian. Namun seakan harapan ini terjawab.
Suara pintu yang berderit terbuka langsung membuatku berlari. Kulihat Yoongi masuk dengan menenteng tas kerjanya. Langkahnya sedikit terhuyung serta padangannya nampak layu. Semakin dekat aku mencium aroma yang menyengat semacam bau alkohol.
Tiba-tiba tubuhnya ambruk. Aku segera mendekat dan menolongnya yang terjerembab. Tubuhku ikut terduduk di lantai dan menumpukan kepalanya di pangkuanku.
"Yoongi-ssi, kau tidak apa-apa?" Tanyaku cemas. Matanya terkatup berat dengan banyak guratan di dahi seakan ia menahan suatu rasa sakit yang sangat.
"Yoongi-ssi," panggilku menepuk pipinya. Ia menyahut tanganku lembut serta matanya menatapku sayu. Kemudian terangkat dan menyisir rambutku untuk diselipkannya kebelakang telinga.
"Karin ... aku mencintaimu,"
Suara parau nan serak itu membelalakkan kedua mataku. Bak disambar petir. Dadaku seperti terhantam besi dengan kuat, rasa sakitnya menjalar ke tenggorokanku dengan cepat dan mencekatnya tiada ampun.
Perasaan sakit itu membuatku menjauh. Kubungkam mulutku yang sudah siap terisak. Mataku terpejam kuat.
"Karin, jangan pergi sayang. Maafkan aku..." rancaunya sekali lagi yang membuat hatiku seakan diremas.
Kepalaku menggeleng. Tangisanku luruh sudah. Aku menggigit kepalan tanganku sendiri untuk menahan rasa sakit ini agar tidak membunuhku.
Dengan terpekur aku memandang penuh tangis ke arah Yoongi yang masih tergeletak di hadapanku.
Seketika seluruh hidupku terampas. Kepalanya yang bergerak ke atas memperlihatkan bekas tanda merah milik seseorang.
Hatiku remuk redam, hancur berkeping-keping.
Karin kah, Yoongi? Wanita itukah kekasihmu sebelum datangnya aku?
***
Mabok panggilnya wanita laen😥. Semua spesies jantan sama aja😭
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Truth (End)✓
FanficLelaki dingin itu suamiku ---Min Yoongi. Kami menikah karena sebuah perjodohan, namun pernikahan ini lebih tepat disebut sebuah tragedi karena Ia yang tidak bisa menerimaku, dan aku sendiri tetap mencintainya meski itu yang berlaku. Tidak pernah te...