"Keadaan memaksaku belajar hidup tanpamu. Meski itu sulit."
.
.
.
.
.
.
.Mataku terbuka segera disambut dengan cahaya yang sangat menyilaukan sampai akhirnya taman dengan berbagai bunga membias dalam penglihatanku. Kupu-kupu berterbangan mencicipi nektar yang kulihat membentang diseluas kakiku melangkah. Aku menemui danau yang begitu jernih sampai cahaya berkelap-kelip di permukaan airnya.
"Seah," panggil suara yang kukenal nyaris satu tahun ini.
Kepalaku lantas menoleh dan di sanalah Yoongi tersenyum ke arahku. Ia terlihat sangat indah memakai setelan baju berwarna putih yang membuat kulitnya semakin bersinar. Senyuman hangat yang jika aku ingat hanya kutemui ketika ia lupa ingatan kala itu.
Aku menghampiri Yoongi, langkahku terasa begitu ringan. Yoongi menyelipkan bunga di atas telingaku, aku tersenyum karenanya.
"Apa yang kita lakukan di sini?" pertanyaan yang ingin sekali aku lontarkan sejak sampai di tempat yang sangat indah ini. Semua terlihat bercahaya diterima retina mataku.
"Aku ingin berpamitan," ucap Yoongi. Raut penuh tanda tanya segera terpajang di wajahku.
"Kau ingin kemana memang?"
"Aku ingin pergi. Sangat jauh," jawab Yoongi lagi seraya menyisir sekilas rambutku yang memanjang ke depan. "Kau cantik dengan rambut panjang, jangan pernah memotongnya."
Kepalaku segera mengangguk. "Apa aku boleh ikut dirimu?"
Yoongi menggeleng.
"Aku melarangmu untuk ikut," tandasnya namun masih dengan ekspresi yang terlihat bahagia.
"Apa kau akan kembali?"
"Tidak."
"Jangan tinggalkan aku," ujarku. Yang mana dadaku merasakan sakit luar biasa, tiba-tiba saja aku ingin menangis tanpa alasan yang jelas.
"Aku harus pergi, dan kau harus tetap tinggal. Maafkan semua kesalahanku. Aku harap kau mengerti mengapa aku harus melakukan semuanya ketika aku menjadi suamimu waktu aku masih hidup."
Yoongi berjalan menjauhiku, aku ingin sekali mengejarnya atau berteriak menghentikannya namun aku tidak bisa bergerak, suaraku menghilang. Dadaku semakin merasakan sakit yang tidak tertahan. Aku tidak menangis namun napasku tersenggal karena isak.
"Yoongi!!!" teriakku ketika terbangun di samping ranjang Yoongi. Aku tidak sadar sampai tertidur di sisinya dengan terduduk kepala bertumpu di ranjang. Kepalaku benar-benar sakit, perutku jangan ditanya lagi aku menyesal tertidur dengan posisi ini.
"Kau bermimpi apa?"
Mataku segera tertuju pada Yoongi yang sudah sadarkan diri. Aku ingin segera bangkit namun Yoongi menahanku dengan tangannya yang tertancap selang infus sampai selang infus itu terguncang karena kami.
"Sudah sejak kapan kau siuman?" tanyaku. Yoongi memperhatikanku, ia terlihat masih pucat namun tidak separah tadi pagi.
"Kurasa sudah tiga jam," jelasnya lalu menelan saliva yang berbicara untuknya masih terasa berat.
"Kenapa tidak membangunkanku!?" protesku. Aku ingin segera memanggil Dokter namun sekali lagi Yoongi mencegahku.
"Aku senang melihat ketika kau tertidur," ucapnya. Aku hanya melihatnya dengan tatapan tidak senang karena tidak habis pikir akan kesadarannya.
"Apa kau sepanjang hari menemaniku disini?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Yoongi. Kesadaran segera menghampiriku, sejauh apa seharusnya aku untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Truth (End)✓
FanfictionLelaki dingin itu suamiku ---Min Yoongi. Kami menikah karena sebuah perjodohan, namun pernikahan ini lebih tepat disebut sebuah tragedi karena Ia yang tidak bisa menerimaku, dan aku sendiri tetap mencintainya meski itu yang berlaku. Tidak pernah te...