13. Jangan Ambil Dia

1.9K 177 27
                                    


Pagi ini tidak seperti biasanya aku sudah harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan Jihoo dan membantunya bersiap untuk pergi ke sekolah.

Aku sudah memutuskan untuk menjaga anak ini sampai keadaan membaik -setidaknya sampai polisi menemukan Ayahnya.

"Jihoo sudah mandinya?" tanyaku pada Jihoo yang masih berada di dalam kamar mandi.

"Sudah Kak! Sebentar," sahutnya dengan berteriak.

Senyumku terangkat ketika Jihoo keluar dari kamar mandi dengan memakai handukku yang dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya. Ia berjalan sedikit kewalahan sebab telapak kakinya tertutup handuk: persis seperti pinguin. Aku tergelak.

"Kenapa Kak?" Mata Jihoo membulat melihatku, aku segera menggeleng. Kakiku berjongkok di hadapannya lalu mencubit gemas pipinya yang masih basah.

"Kamu lucu," cicitku sembari mendaratkan kecupan di pipi Jihoo, ia segera merona yang membuatku tertawa lepas.

"Baiklah, sini." Tanganku mengatur posisi Jihoo agar sedikit mendekat, aku segera mengeringkan rambutnya dengan handuk yang sedari tadi memang kubawa untuknya.

Andai momen-momen seperti ini bisa kutemui setiap hari.

"Em, Kak. Apa kita mau naik mobil lagi?" Jihoo bertanya padaku dengan wajah lugu yang terlihat begitu berharap.

"Kita naik bus saja ya," saranku. Ia langsung terlihat muram.

"Kenapa?" Aku kembali bertanya serta menurunkan tanganku darinya.

Jihoo menggeleng. "Enggak, cuma banyak teman Jihoo yang sering diantar mobil sama orangtuanya."

Aku terhenyak memandang Jihoo. Mataku bisa menafsirkan jelas kesedihan yang mendominasi wajah kecilnya saat ini.

"Kenapa Jihoo?"

"Mereka sering ngejek kami dari panti asuhan, pasti lucu kalo Kakak nganterin aku naik mobil." Ia tersenyum menampilkan deretan giginya, namun senyuman itu seakan hanya kiasan -ia tak sepenuhnya tersenyum.

"Kakak berjanji akan menemani Jihoo sampai sepulang sekolah, bagaimana?" negoku dan ia segera mengangkat alisnya dengan antusias.

"Serius!?"

"Ya, serius," timpalku. Ia bersorak "hore" lalu memelukku. "Aku sayang Kakak!"

Kakak juga sayang kamu Jihoo.

"Okey, Kakak tunggu di luar ya, Jihoo mau siap-siap."

Aku mengindahkan perintah Jihoo dan keluar dengan tak lupa menutup pintu. Tepat ketika tanganku melepas knop yang terangkat ke atas pintu kamar Yoongi juga terbuka, bunyinya nyaris mengagetkanku. Ia keluar sudah siap seperti biasanya dengan setelan jas yang beberapa bulan ini aku sadar semua motif serta warna yang ia punya hanya bernuansa hitam dan putih.

Mata kami saling berpandangan sebentar lalu usai ketika perkataanya tadi malam terngiang di benakku. Aku mencoba untuk tidak melihatnya, sudah terlalu sering aku menerima perlakuan tak mengenakan Yoongi, namun tadi malam seakan yang terburuk.

"Kapan kau akan memulangkan anak itu?" suara datar Yoongi yang tiba-tiba membuatku menoleh.

"Em, aku tidak bisa membawanya kembali sekarang. Ayahnya masih belum ditemukan," jawabku apa adanya tanpa membuat kontak mata. Aku rasa membawanya kembali jauh lebih baik daripada memulangkan seperti kata Yoongi.

The Untold Truth (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang