POV. Yoongi

1.1K 95 9
                                    

Kesalahan terbesarku membawamu jauh lebih dalam dan menghapus jalan untukmu kembali.

.
.
.
.
.
.
.

Ternyata aku salah, entah sekuat apa atau memang diriku yang terlalu kejam di sini. Seah masih berada di sini, di apartemen yang entah kapan ia akan menyudahinya.

Sejak dimana malam aku menyentuhnya, ia tetap bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Rasa kesal setiap mengingat bagaimana maniaknya aku di matanya selalu mengendap dalam pikirku. Ia tidak seharusnya menahannya lebih lama yang hanya akan menyisakan gejolak benci pada sikapku sendiri.

Begitupun Karin lebih posesif dari biasanya, di saat kita bertemu hanya akan menimbulkan perdebatan tentangku dan Seah. Meski seharusnya ia tau sampai saat ini perasaanku tetap untuknya.

Hari itu entah kapan aku juga sudah lupa, aku mengikuti Seah yang pergi ke jembatan Ayang-Gyo. Aku sering mengikutinya akhir-akhir ini entah dorongan apa itu yang sejak awal kupikir hanya instingku saja mengingat ia bertemu lelaki di panti asuhan tempo hari. Aku hanya ingin memastikan, setidaknya mencari alasan untuk lepas dari wanita ini jika saja ia berbuat tidak benar.

Dan benar, aku melihatnya bersama lelaki yang sama. Dari kejauhan aku pergi tanpa melihat lebih jauh apa yang akan mereka lakukan.

Aku semakin naif pada diriku sendiri, ada rasa yang kuat dimana aku tidak membutuhkan Seah namun sedikit dilain waktu was-was dengan semua tentangnya tanpa kusadari. Aku seharusnya berada di sana seperti orang bodoh mengawasi mereka, namun aku malah pergi dengan perasaan yang sama seperti malam itu. Ada apa denganku? Semakin aku mengenalnya, semakin aku lupa akan sosokku yang selalu membuatnya menangis di apartemen.

Kini aku tau keseharian apa saja yang sering Seah lakukan. Panti asuhan dengan latar belakang yang sudah lama berdiri dan memerlukan renovasi tempat singgahku dilain waktu. Jika saja Karin tidak ingin bertemu serta tidak ada kerjaan yang berat di kantor, aku singgah disana, mengawasi Seah dari jauh sampai malam ia pulang, kebiasaan baru yang selalu membuatku berdebat dengan diriku sendiri.

Aku mulai menyadari ada yang salah, aku tidak bisa berhenti mengagumi sosoknya yang hangat pada anak-anak serta bagaimana ia bisa menyembunyikan ketidakbahagiaannya bersamaku dengan tersenyum diluar sana.

Itu sulit.

Sejak kejadian malam itu sebagai pria normal aku menginginkannya kembali. Menginginkannya dalam tanda petik sesuai yang pernah terjadi di antara kami.

Selesai mengantar Karin, dengan bodohnya aku berharap memiliki Seah kembali malam ini. Aku merasa menjadi lelaki paling brengsek setelah berbagai kekacauan yang kubuat atas hubungan ini, dengan kesadaranku aku ingin menyentuhnya lagi, bukan karena bertengkar dengan Karin ataupun pelampiasanku saja. Aku merasa nyaman ketika berada di dekat Seah, aku mulai terbiasa dengan aroma tubuhnya yang lembut, aku senang memeluk tubuh kecilnya itu, yang jelas sangat salah jika persepsiku itu bisa mengurangi rasa sakitnya karenaku.

Aku memang bodoh.

Jika bisa jujur melihat Seah yang berada dalam dekapanku sedekat tubuh kami menyatu, aku tidak pernah merasakan bisa mendapatkan seseorang sebelum orang lain. Tidak pada Karin meski ia pertama bagiku. Itu tenang, hatiku menghangat.

Lelaki brengsek yang mulai menyukai mainnannya. Mungkin itu yang Seah pikirkan.

Setelah menidurinya esoknya aku mencampakkannya kembali, aku tidak ingin menetralkan suasana diantara kami meski kemarin malam sangat hangat rasanya aku mengucapkan kata-kata manisku lagi.

The Untold Truth (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang