"Tidak seharusnya kau datang...."
.
.
.
.
.
.Kehamilanku memasuki Minggu ke 19, aku mengira ibu hamil mengalami morning sickness selama ini hanyalah mitos, kebanyakan dari mereka ingin bermanja karena dimasa ini mereka terlihat begitu rapuh. Begitupun yang kualami, aku bisa menghabiskan satu box tisu untuk menyeka sisa-sisa makanan yang tidak ingin diterima perutku dalam satu hari. Dokter mewanti-wantiku untuk tidak berpikir terlalu berat, namun dalam keadaanku sekarang rasanya sulit.
Kandunganku begitu lemah. Aku bersyukur ada Ibu dan Ayah yang selalu menyemangatiku dan juga Jungkook. Ia menyiapkan semua keperluanku, semua nutrisi ibu hamil yang ia cari di website sampai aku berpikir itu berlebihan. Aku senang, meski Yoongi tidak pernah ada di saat terlemahku mereka selalu ada.
Setelah beberapa bulan ia benar-benar lenyap tidak menengokku sekalipun. Seharusnya aku tidak heran atas apa yang ia utarakan terakhir kali di sini. Namun sebagian hatiku yang teramat kecil masih mempertanyakannya. Sebegitu benci kah ia padaku, setidak berharga kah waktu yang kami lalui kala ia melupakan segalanya.
Kurasa sudah cukup membicarakan alasan aku harus mengalami kandungan lemah karenanya.
Aku memasukkan barang-barangku ke dalam tas dan juga tak lupa permen rasa asam manis yang sengaja aku beli akhir-akhir ini karena itu mengurangi rasa pahit di lidahku. Jungkook bilang ia akan menjemputku sesegera mungkin. Kami akan menghabiskan waktu di luar.
Tak lama ia datang dengan mengendarai mobil. Ia sering membawa mobil saudarinya ketika bersamaku sekarang. Ia benar-benar memperhatikan kenyamanan serta keselamatanku kemanapun kami pergi.
"Sudah lama menunggu?" tanyanya setelah keluar dari mobil sembari menghamburkan pelukan kepadaku. Satu kecupan ia tinggalkan di bibirku yang segera tanganku mencoba membuat jarak diantara kami.
"Berhentilah seperti ini," protes Jungkook menyadari aku masih belum bisa membiarkan keintiman leluasa diantara kami.
"Aku sudah sangat pegal berdiri, kita pergi sekarang?" pintaku dengan mata mengerling.
Pasti sangat tidak nyaman menjadi ia. Hanya saja aku menunggu hubunganku dengan Yoongi benar-benar selesai, meski aku juga memberikan kesempatan luas untuk Jungkook memilih. Aku berjanji tidak akan meninggalkan lelaki ini jika bukan ia yang meminta.
Kami pergi ke suatu taman yang beberapa hari lalu aku merengek pada Ibu agar Jungkook cuti satu hari saja untuk menemaniku jalan-jalan.
Jungkook mengekor di belakangku yang aku tau ia tengah membuat snap untuk ia pamerkan ke seluruh kontak di ponselnya. Itu membuat Jieun cemburu. Bibi Choi bercerita tentangnya yang tidak habis pikir kenapa Jungkook bisa bersamaku yang notabene masih menyandang status istri orang. Aku yakin teman-teman Jungkook juga berpikiran yang sama.
"Seah bisa lihat kebelakang." Aku segera menoleh, satu potret segera ia ambil. Ia mengamati sejenak hasil jepretannya, "cantik," gumamnya seraya tersenyum.
Aku yakin wajahku memerah, aku mencoba menyembunyikan itu dengan kembali berjalan.
"Jungkook-ahh, jangan membuatku malu. Kau tau aku naik berapa kilo belakangan ini, dan juga wajah pucat ini." Aku mengeluh dan duduk di kursi taman diikuti Jungkook. Ia mengusap lembut rambutku yang kusut. Aku menyadari rupaku yang tidak karu-karuan sekarang. Untuk mandi saja aku nyaris berdebat dengannya setiap waktu.
"Bagiku kau tetap cantik, dan yang paling cantik," pujinya menjunjungku tinggi-tinggi.
"Penggoda." Jungkook tersenyum mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Truth (End)✓
Fiksi PenggemarLelaki dingin itu suamiku ---Min Yoongi. Kami menikah karena sebuah perjodohan, namun pernikahan ini lebih tepat disebut sebuah tragedi karena Ia yang tidak bisa menerimaku, dan aku sendiri tetap mencintainya meski itu yang berlaku. Tidak pernah te...