Mataku terbuka Jungkook sudah membelakangiku serta berjalan menjauh. Beberapa orang keluar dari bus, salah satu dari mereka menghalangi padanganku akan sosoknya yang mulai menghilangkan tepat di belokan sebuah gedung menuju tempat apartemennya.Pikirku melambung jauh. Aku terdiam membiarkan bus mulai melaju lagi. Kakiku melangkah getir ke tempat duduk halte mempersilahkannya untuk tenang kembali.
Seharusnya aku sadar beberapa menit yang lalu bahwa itu kendaraan terakhirku untuk pulang. Namun seakan belum cukup, dadaku memacu detaknya dengan ritme yang tak kunjung stabil.
Aku ingin menghilangkan perasaan ini. Aku benci diriku.
Cukup lama aku terduduk di halte, beberapa orang lewat hanya untuk pergi tanpa singgah karena mereka mestinya tau jadwal pemberhentian bus telah usai. Namun aku masih kukuh membiarkan hatiku bergulat dengan perasaanku sendiri.
Hanya aroma pemuda yang baru saja meninggalkan kebimbangan dalam hatiku yang saat ini kupikirkan. Jaketnya masih mengalung di pundakku sampai aku meraihnya dan menatapnya cukup lama.
Apa aku menyesal sekarang menikahi orang seperti Yoongi dan mengacuhkan ketulusan Jungkook begitu saja.
Aku mengangkat tubuhku untuk berdiri dan akhirnya tanganku menghentikan sebuah taxi. Hanya seperkian detik ketika aku mengucapkan alamat sebuah apartemen taxi segera beranjak pergi meninggalkan halte begitu pun bekas antara diriku dan Jungkook yang terasa masih kentara.
Ini malam akhir pekan sebelum liburan panjang dimulai. Jalanan cukup padat membuat keterlambatanku sampai di apartemen. Setelah membayar ongkos taxi aku pun berjalan masuk melalui lobi yang seperti biasanya hanya terdapat satpam penjaga. Mataku menilik sekilas ke papan yang tertempel di tembok dimana nama-nama pemilik apartemen beserta nomor, lantai tertera jelas.
Mr. Min Yoongi
Setelah sekian waktu menjadi istri Yoongi, rasanya masih sangat asing bagiku untuk membaca namanya di sana setiap kali aku datang.
Lift pun membawaku ke lantai seharusnya aku berada. Lorong panjang yang hanya ditempati tiga pintu apartemen selalu hening seperti biasanya, bahkan nyaris tak terlihat orang lain selain diriku setiap kali aku datang dan pergi.
Ingatan tombol sandi pintu apartemen seakan sudah mendarah daging di benakku. Tanpa melihat aku sudah begitu lancar mengetik. Ketika pintu terbuka yang menyambutku pertama kali adalah sepatu high heels hitam bersama sepatu milik Yoongi yang berdampingan.
Satu helaan napas lolos dari bibirku.
Karin.
Aku rasa tak cukup lama bagiku untuk melupakan Jungkook hanya karena Yoongi.
Setelah kejadian tadi pagi rasanya aku begitu muak. Yang aku inginkan hanya segera pergi tidur dan menutup segela indera dalam diriku tanpa harus melihat atau mendengarkan apa pun itu dari mereka berdua.
Aku melangkah masuk sampai di mana lorong habis apa yang kubayangkan tidak seperti apa yang kudapati. Yoongi dan Karin tidak berada di sofa ruang tamu.
Kakiku melangkah menuju kamar dan terhenti ketika samar-samar desahan kecil dari kamar Yoongi mengurungkan niatku untuk masuk. Aku mengintip dari celah pintu kamar Yoongi yang sedikit terbuka. Dengan sangat jelas mataku melihat Yoongi menindihi seorang perempuan mencumbunya dengan telanjang dada.
Tanganku membungkam mulutku dan mencoba menahan tangis yang seakan meremukkan hati serta keteguhanku.
Aku telah hancur.
Dadaku sakit menjalar sampai ketenggorokkan. Rasa sakit yang sangat kubenci. Tanpa berkedip air mataku jatuh. Aku ingin segera berlari entah itu kemana. Aku sudah terlalu muak dengan Yoongi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Truth (End)✓
FanfictionLelaki dingin itu suamiku ---Min Yoongi. Kami menikah karena sebuah perjodohan, namun pernikahan ini lebih tepat disebut sebuah tragedi karena Ia yang tidak bisa menerimaku, dan aku sendiri tetap mencintainya meski itu yang berlaku. Tidak pernah te...