32. Keputusan

795 88 32
                                    

"Aku benci kematian, tapi aku lebih benci hidup."
.
.
.
.
.
.
.


Bunyi mesin yang sering aku dengar ketika berada di dekat tubuh Yoongi yang sekarat, yang selalu mengerikan untukku adalah hal pertama yang terdengar olehku ketika terbangun. Aroma obat-obatan serta khas dari harum ruangan rumah sakit di kamar pasien selalu membuatku merasa tidak nyaman.

Mataku sedikit terbuka, penglihatanku berpendar dan mulai terbiasa dengan cahaya dari lampu yang menerangi. Hal pertama yang kurasakan adalah tangan seseorang yang menggenggam erat tanganku, rasa sakit yang begitu kentara mengendap di perutku dan juga kepalaku. Tubuhku terasa remuk, aku mulai kesulitan bernapas mengimbangi ventilator yang menutupi jalan napasku. Aku berusaha melepaskannya, dari seberang aku mendengar Yoongi memanggil namaku. Jungkook masih tertidur di sebelahku dengan terduduk.

Yoongi mendekat, ia terlihat sangat kawatirkan dan senang melihat aku siuman. Untuk alasan yang sangat egois aku merasa tenang mereka berdua ada di sini.

"Aku akan memanggil Dokter," ujar Yoongi menghentikan tidakkanku untuk melepaskan ventilator yang terasa dingin hembusannya, Yoongi memberikan kecupan di keningku yang bagiku itu terlihat sangat bersyukur sebelum ia pergi.

Aku memandang Jungkook, meski tertidur tangannya begitu erat menggenggam tanganku. Aku terulur membelai rambutnya yang beberapa belakangan ini ia biarkan semakin memanjang, ia terbangun.

"Hey, kau sudah bangun."

Ia segera mengangkat tubuhnya dan membelai kepalaku. Air matanya membasahi pipinya yang memerah sebab posisi tidurnya yang mungkin sudah berjam-jam.

"Terimakasih Tuhan," ucapnya penuh syukur. Ia mencium puncak kepalaku berkali-kali. Bagaimana bisa mereka sangat mencintaiku sedalam ini.

Dokter datang dan segera memeriksaku, aku tidak dapat mendengar penjelasannya yang hanya Yoongi di seberang berbincang sebentar dengannya sebelum ia pergi. Jungkook membantuku untuk membenarkan posisi badanku sedikit lebih tinggi, rasa sakit pada perutku membuat pergerakkanku meski hanya sedikit itu sangat sulit karena aku mengeluh kesakitan.

"Pelan-pelan," tutur Jungkook agar aku lebih berhati-hati dalam bergerak.

"Apa yang terjadi?" tanyaku. Jungkook menggeleng sembari membenarkan rambutku yang berantakan karena ventilator yang dokter lepas tadi sebab aku memintanya.

"Seseorang berusaha membunuhmu," timpal Yoongi dari jauh menghampiri kami, wajahnya datar sekarang.

"Dimana Ibu?" cecarku memperhatikan sekitar.

"Seah maafkan aku."

Jungkook menggenggam erat tanganku, semakin erat. Ia menyadari aku mulai melihat bahwa perutku telah datar, aku menatap Yoongi. Semuanya terasa hampa.

"Tidak, tidak."

Tanganku memegang perutku, kepalaku lantas menggeleng cepat membiarkan air mataku berjatuhan dengan deras, aku menangis sangat histeris. Membiarkan rasa sakit meski hanya dalam pergerakan kecil aku sesenggukan dalam isak tangis yang semakin menjadi, Jungkook memelukku yang terus memukul dada membuat selang infus di tanganku bergoyang, Yoongi berusaha memegang penyangga infus itu agar tidak terjatuh. Aku menjerit melepaskan seluruh kesedihan yang tidak pernah kudapatkan sekejam ini.

Aku telah kehilangan bayiku.

"Kenapa! Kenapa ini terjadi!"

Kepala Yoongi menunduk, aku meluapkan segala kepedihan, kehancuran perasaanku saat ini di dalam pelukan Jungkook. Rasanya aku ingin mati saja.

The Untold Truth (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang