Kesabaranku tertatih, semakin jauh tergerus tak tentu arah menemukan tempatnya berlabuh.
-Kim Seah-
.
.
.
.
.
.Matahari bersinar begitu terang seakan ingin menunjukkan betapa kuasa Ia dalam membuat peluh Jihoo bercucuran membasahi seragam olahraga bocah kecil itu.
Ia tersenyum memastikan setiap satu kali memutari arena lomba lari tepat di bangku penonton saat ini aku dan Jungkook duduk. Pagi ini ia sudah berjanji akan menang dan menjanjikanku sebuah mendali dari guru olahraganya. Aku hanya memastikan ia cukup melakukan yang terbaik aku sudah sangat mengapresiasi semua usaha kerasnya, namun aku rasa ia sungguh-sungguh karena menempati urutan pertama sekarang.
Tiga hari berlalu dan polisi belum menemukan Ayah Jihoo ataupun mengendus jejak dimana pria itu berada. Aku selalu mengantar Jihoo sekolah dan menemaninya sepanjang waktu seperti sekarang. Kami masih berada di apartemen meski Yoongi tetap sama dengan sifatnya dan Jihoo yang polos sering menanggapi segala ocehan Yoongi hingga tercipta argumen kecil di antara mereka berdua.
Aku sadar betapa mereka berdua tidak cocok, terutama Yoongi yang aku rasa tidak terlalu suka anak kecil, tapi, setidaknya aku tenang Jihoo aman bersamaku dan Yoongi tidak membawa Karin ke apartemen beberapa hari ini seakan mendukung segala kondisi kami.
Dan jangan lupakan Jungkook. Ia menawarkan -atau lebih tepat menyuruh agar Jihoo tinggal bersamanya di apartemennya saja; dalam tanda kurung ia cemburu. Aku tidak yakin ia bisa merawat Jihoo terlebih kondisinya sekarang yang butuh waktu untuk pulih seperti sedia kala. Kami saling menguatkan keinginan masing-masing sampai akhirnya ia menyerah namun tetap menemani kami sebisa mungkin ketika di sekolah.
"Ayo Jihoo-ya! Lebih cepat!" sorak Jungkook ketika lomba hanya tinggal satu putaran lagi. Jihoo memandang ke arah kami lalu larinya melambat sehingga ia berada di urutan kedua. Tangannya terangkat sambil memberi kami ibu jarinya yang kecil, hanya tinggal beberapa meter ia berlari lebih cepat dan membalap temannya lagi. Kami menyemangatinya dengan antusias, Jungkook berdiri sembari meloncat-loncat kecil seperti tidak sabaran. Kami melihat Jihoo sedikit lagi akan menang, namun ia terjatuh tertelungkup di arena lomba. Teman-temannya bersorak hore untuk mereka yang telah melewati garis finis. Dan Jihoo terduduk di sana.
Aku dan Jungkook mehampiri Jihoo, ia menyembunyikan wajahnya di sela-sela kakinya.
Jungkook ikut duduk di depan Jihoo, sembari satu tangannya bertumpu ia mengusap rambut Jihoo yang sedikit basah.
"Kerja bagus kawan!" seru Jungkook.
Kepala Jihoo mendongak menunjukkan wajahnya yang basah karena menangis.
Aku pun ikut berjongkok di samping Jungkook. "Ya, kerja bagus kawan!" ujarku seraya tersenyum menghapus bulir-bulir tangis di wajah kecil Jihoo yang memerah.
"Ma-af," cicit Jihoo. Jungkook segera merengkuhnya dalam gendongan.
"Baiklah kamu sudah berkerja keras, bagaimana kalo kita sekarang beli es krim?" saran Jungkook dan aku mengangguk semangat.
"Itu ide bagus," timpalku.
Senyum Jihoo kembali terangkat dan berseru, "Ayo!" Ia terlihat girang seketika.
Kami pun pulang dengan membawa tangan kosong, Jihoo masih meminta maaf di sepanjang jalan sampai bibir kecilnya berhenti ketika Jungkook menyodorkan es krim rasa cokelat kesukaannya. Ia segera menjilati es krim itu dengan semangat.
"Ini untukmu," ucap Jungkook sembari memberikan es krim rasa vanilla ke arahku.
"Terimakasih." Aku mengambilnya dengan sepenuh hati dan segera membiarkan lidahku menyentuh benda lembut itu dengan irama menyapu ke atas dan ke bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Truth (End)✓
Fiksi PenggemarLelaki dingin itu suamiku ---Min Yoongi. Kami menikah karena sebuah perjodohan, namun pernikahan ini lebih tepat disebut sebuah tragedi karena Ia yang tidak bisa menerimaku, dan aku sendiri tetap mencintainya meski itu yang berlaku. Tidak pernah te...