"Terkadang pilihan hati butuh dimengerti, meski kau harus mencintai seratus orang sekali pun."
.
.
.
.
.
.Empat hari sudah aku menemani Yoongi di rumah sakit. Ia belum menunjukkan tanda-tanda untuk segera siuman atau memperlihatkan sedikit perkembangan mengenai kondisinya. Dokter bilang benturan pada kepalanya mengakibatkan trauma yang cukup berat hingga ia sulit untuk menemukan kesadarannya kembali.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun ketika mata ini tidak menemukan atensi seorang Yoongi yang lemah terbaring di brankar rumah sakit, ingatan akan malam dimana ia mencumbu seorang jalang hinggap di kepalaku, menjadikan hatiku teramat mantap untuk merasa benci padanya. Namun ketika melihatnya seperti ini ... Aku pun lemah.
Nyaris setiap detik aku akan mati.
Sampai sekarang aku bungkam mengenai segalanya, menghianati janjiku sendiri untuk menyerah dan bercerai. Aku hanya tidak bisa melakukannya sekarang di saat kondisi Yoongi seperti ini.
Apa karena rasa ibaku begitu besar atau hanya kebodohanku mencintainya selama ini yang sanggup menerima setiap perlakuannya, entahlah.
Aku tidak bisa meninggalkannya.
Pundakku bersandar pada tembok dimana tempat duduk memanjang tertata rapi di sepanjang koridor rumah sakit tepat di depan ruangan saat ini Yoongi dirawat. Empat hari bukanlah waktu yang singkat untukku merasa frustasi dan menjadikan tampilanku nampak kacau balau.
Aku nyaris tidak merasakan tidur sama sekali. Pikiranku diset untuk tetap tegang memikirkan keadaan Yoongi. Hanya sesekali tubuhku menunjukkan kelelahannya tiba-tiba aku terbangun di sofa dengan penjelasan dari Ibu atau Ibu mertua bahwa aku tertidur lagi.
Namun setidaknya mereka sudah memindahkan Yoongi ke ruang rawat inap biasa menunjukkan tak terlalu gawat untuk keadaan seorang pasien.
Pintu terbuka bergeser di depanku segera menampilkan Ibu yang baru saja menjenguk Yoongi. Ia selalu menyempatkan untuk singgah sebentar sebelum pergi bekerja. Senyumnya mengembang seperti biasanya memberiku kekuatan, seakan bilang: tak apa, semuanya akan baik-baik saja.
Ia ikut mendudukkan diri di sebelahku memulai perbincangan antara Ibu dan anak yang menurutku tak pernah basi meski berulangkali aku harus menjawab, aku baik-baik saja.
"Nyonya Min bilang Yoongi anak yang kuat. Ya, aku rasa ia begitu." Ibu menyilangkan kakinya dan menaruh tas belanjaan yang sengaja ia tinggalkan untukku.
"Kau juga harus kuat," ujarnya menyentuh punggung tanganku yang bertumpu pada kursi. "Makanlah, aku sudah membalikanmu beberapa cemilan yang kau suka. Setidaknya biarkan tubuhmu menerima energi."
"Ya, terimakasih Bu," timpalku sembari tersenyum masam dan mengambil tas belanjaan untuk mengoreknya sekedar memilah apa yang membuatku nafsu untuk makan.
"Polisi bilang Yoongi mabuk ketika kecelakaan," gumam Ibu. "Kata Nyonya Min ia bukan pemabuk yang handal bahkan nyaris tidak menyentuh minuman selama beberapa tahun ini karena ia memiliki masalah dengan asam lambungnya."
Tanganku berhenti menciptakan bunyi gemeresak pada tas belanjaan. Entah mengapa dadaku merasa sesak. Aku bahkan tidak tau ia mempunyai penyakit seperti itu, terlebih aku tidak pernah melihatnya makan di apartemen.
Ini bukan salahku. Hanya saja....
Yoongi benar seharusnya aku tidak hadir dalam hidupnya dan menolak perjodohan ini.
"Untuk alasan apa sebenarnya sampai ia mabuk dan kau pergi dari apartemen?" tanya Ibu.
Aku menaruh tas belanjaan itu lagi, membiarkan nafsu makanku musnah begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Truth (End)✓
Fiksi PenggemarLelaki dingin itu suamiku ---Min Yoongi. Kami menikah karena sebuah perjodohan, namun pernikahan ini lebih tepat disebut sebuah tragedi karena Ia yang tidak bisa menerimaku, dan aku sendiri tetap mencintainya meski itu yang berlaku. Tidak pernah te...