18. Bimbang

1.6K 144 20
                                    


   Dokter melepaskan lilitan perban pada kepala Yoongi dengan pelan-pelan, sesekali pria paruh baya itu menanyakan tentang ingatan terakhir kali sampai ia bisa seperti ini dan Yoongi hanya akan menyerukan sakit pada kepalanya. Untuk sekedar mengingat ia masih tidak sanggup.

Dengan dibantu perawat wanita yang membawa nampan berisikan kain kasa baru untuk Yoongi serta obat tetes, akhirnya sekarang Dokter cukup menutup lukanya dengan kain kasa yang di tempel dengan plester. Aku rasa cukup baik tidak perlu melihatnya nampak kritis seperti hari-hari lalu.

Ia meringis setelah Dokter selesai mengganti perbannya, lalu digantikan senyumnya yang lebar ketika Dokter menyatakan ia sudah boleh pulang hari ini. Kami pun merasa lega meski Yoongi masih tidak mengingat apa pun.

Aku segera berniat keluar untuk memberitahukan ini kepada Ibu, namun suara Yoongi yang beberapa hari ini berubah hangat menahanku.

"Emb, kita pulang bersama." Tangannya yang tak lagi dingin memegang telapak tanganku. Ia tersenyum ringan. "Kau pasti senang," ujarnya.

Aku hanya bisa mengangguk kikuk lantas berpamitan sebentar untuk memanggil Ibu. Di luar aku termenung mendudukkan diri di kursi depan. Mataku menatap tangan yang baru saja Yoongi sentuh. Ia benar-benar berubah dan melupakan semuanya, berusaha seperti apa pun menjadi orang yang mengenalku sebagai seorang suami. Jujur aku senang meski menyembunyikan semua ini.

Pintu ruangan tergeser, Ibu keluar dari ruangan untuk berpamitan pergi sebentar mengurusi administrasi rumah sakit dan beberapa hal penting lainnya. Ia menyuruhku untuk membantu Yoongi bersiap-siap. Aku mengangguk sebelum ia pergi dan memberikan senyum ikhlasku.

Sebelum masuk aku mengirimkan pesan untuk Ibu mengenai kepulangan Yoongi, tentu tiada jawaban, ia tengah sibuk di kantor di jam seperti ini. Setidaknya ia nanti akan merasa senang juga.

Di dalam Dokter masih berbicara dengan Yoongi dan Suster melepas selang infus yang masih menempel pada tangannya. Aku merapikan barang bawaan kami dan juga baju ganti untuk Yoongi. Selang beberapa waktu akhirnya Dokter berpamitan untuk pergi dan mengucapkan selamat untukku. Pria paruh baya itu nampak senang membicarakan kepulangan Yoongi padaku, karena bagaimana pun aku istrinya.

Yoongi duduk di bibir ranjang, aku menghampirinya menyuruhnya untuk berganti baju.

"Emb, Seah?" ucapnya terlihat bingung menyebut namaku, seperti nama itu baru saja hinggap di kepalanya.

"Maafkan aku."

Hening. Yang dapat aku dengar hanya bunyi pendingin ruangan beserta udara yang berhembus.

"Aku tidak bisa mengingat semuanya, bagaimana bisa aku mengebut sampai kecelakaan dan-" kalimat Yoongi terjeda hanya untuk mengambil napas. Ia menatapku dan beranjak dari ranjangnya untuk berdiri.

Hanya satu langkah ketika aku sadar denyut jantungku berdebar. Kami sudah sangat dekat.

"Yang aku tahu hanya ketika bangun tiba-tiba aku sudah memiliki istri. Tidak peduli seberapa besar pertengkaran kita. Sampai aku mengalami kecelakaan dan bodohnya aku bisa melupakanmu. Aku minta maaf." Yoongi menggapai tanganku. Mataku membulat dan saat ini aku benar-benar terpaku.

"Si-siapa yang bilang kita habis bertengkar?" tanyaku begitu gugup. Entah bagaimana ia bisa sampai menyimpulkan hal semacam ini. Walau kenyataannya yang terjadi lebih buruk dari yang ia pikir.

"Ibu. Dia bilang mungkin kita bertengkar sampai semuanya terjadi. Melihat dari sikapmu aku rasa kita benar-benar mengalami masalah." Tangan Yoongi terlepas. Kepalaku menunduk, bagaimana aku menjelaskan semuanya sedangkan ia sendiri tidak ingat sama sekali.

"Aku tidak peduli siapa yang salah dan permasalahan apa itu, aku minta maaf," tandas Yoongi sekali lagi.

"Yoongi kita-"

The Untold Truth (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang