Langit sore dengan awan jingga yang menggantung menyambut hatiku yang telah remuk. Isakkanku hanyalah sisa-sisa tangis penyesalan yang begitu dalam.
Di tengah keramaian hiruk piyuk suasana senja di jembatan Ayang-Gyo aku meluapkan semua emosiku yang bercucuran dan ingin membuangnya sejauh mungkin jika aku mampu.
Bertahan di sisi Yoongi tidak sesakit ini; setidaknya itu yang menjadi gagasanku sejak awal sampai aku berani menjerumuskan perasaanku begitu dalam.
Tapi aku salah besar. Meski Ia suamiku dan rasaku ini benar, baginya berada di sisinya hanyalah suatu kejahatan.
Ia merenggut segalanya dan membuangku seakan aku memang sudah semestinya menyingkir.
Aku tidak yakin akan bertahan sejauh ini. Namun, sekarang keinginanku begitu kuat untuk mengadu ke orangtuaku dan pulang yang mungkin hanya akan membawa penyesalan untuk mereka.
Hatiku sudah terlalu terluka.
Hanya satu kali panggilan Ibu yang ada di seberang sana mengangkat telefonku.
"Seah, bagus sekali. Kami baru saja ingin menghubungimu. Ibu dan Ibu mertuamu akan ke sana. Kami sudah ada dalam perjalanan."
Napasku memburu sebelum aku mulai mencari alasan.
"Ibu, aku dan Yoongi sedang keluar," dustaku. Yang mana aku hanya sendiri di tengah keramaian.
"Ah, benarkah? Tapi kami sudah hampir sampai. Memangnya kalian ke mana?"
"Kami akan makan malam di luar, Bu." Sekali lagi aku terlalu bodoh dan malu mengatakannya.
"Padahal kami ingin sekali bertemu kalian."
"Tidak apa-apa, lain kali saja kita ke sana. Jangan mengganggu mereka," suara Ibu Yoongi dari seberang meski pelan sanggup terdengar olehku yang seketika hatiku luluh karenanya.
Mereka adalah alasanku untuk terus bertahan meski aku telah hancur seperti ini. Terlalu riskan ... baik waktu itu, mau pun sekarang ketika aku sudah tidak sanggup lagi.
Benar kata Yoongi, aku adalah wanita terlemah. Sangat lemah sampai meninggalkannya saja aku tidak mampu.
Panggilannya tertutup setelah mereka memutuskan untuk kembali pulang meski tadi Ibu sedikit keras kepala menyuarakan keinginannya untuk bertemu denganku.
Ibu Yoongi tidak seperti Ibuku, Ia sangat senang ketika aku dan Yoongi bersama, Ia sungkan jika sampai menggangu kami. Meski itu hanya angan-angan yang tidak akan pernah mereka kira.
"Makan malam bersama suamimu?" suara seseorang yang sangat aku kenal tiba-tiba mengusik pendengaranku.
Ketika aku menoleh tidak diragukan lagi itu Jungkook.
"Jungkook! Apa yang kau lakukan di sini?" pekikku karena Ia tiba-tiba muncul.
"Seah, apa ada masalah dengan pernikahanmu," kata Jungkook sarkastis. "Apa maksudmu makan malam dengan suamimu bahkan kau tidak bersamanya," ledeknya.
"Itu bukan urusanmu," sewotku. Jungkook tersenyum, membuang padangannya jauh ke hilir sungai nan jauh di depan kami.
Langit sore mulai meredup seiring tenggelamnya sang surya, beriringan dengan itu lalu lalang orang semakin jarang di sepanjang jalan jembatan. Jungkook masih setia berada di sisiku meski aku hanya memberinya kediaman yang tidak berarti. Aku tidak mengusirnya, hanya ingin sedikit jujur kehadirannya membawa ketenangan tersendiri untukku.
Mengingat betapa dekatnya kami dulu: Ia adalah tempatku berbagi kisah hidup. Meski situasinya sekarang telah berubah.
"Mau sampai kapan kau merenung di sini?" Jungkook memulai pembicaraan. Hari sudah mulai gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Truth (End)✓
FanfictionLelaki dingin itu suamiku ---Min Yoongi. Kami menikah karena sebuah perjodohan, namun pernikahan ini lebih tepat disebut sebuah tragedi karena Ia yang tidak bisa menerimaku, dan aku sendiri tetap mencintainya meski itu yang berlaku. Tidak pernah te...