01. Malam Pertama

5.2K 243 6
                                    

   Mata ini tidak ingin terpejam. Tubuhku beringsut mencari posisi ternyaman agar bisa terlelap namun nihil. Meski lelah sudah bersemayang rasa terjaga tidak sedikit pun meruap dalam diriku. Seakan malam ini jiwaku tidak sedikit pun menginginkan sebuah ketidaksadaran, tubuhku terus bergerak hingga menimbulkan suara decitan kecil di ranjang, sampai kurasa lelaki di sebelahku terbangun.

"Diam aku ingin tidur," gerutunya.

Spontan aku menoleh dan melihat ia yang terjaga. Matanya menilik ke arahku.

"Ma-af, aku tidak bisa tidur," jujurku.

Ia mendengus lantas mendudukan diri. Tangan kanannya mengusak tengkuk lehernya dengan kasar, seperti aku baru saja menggangu ritual terkusuknya: terlihat ia mulai kesal.

"Aku akan tidur di luar kalau kau tidak bisa tidur," ucapnya.

"Eh, jangan," sahutku. "Kau tidak perlu tidur di luar."

"Aku rasa kau tidak bisa tidur karena ada aku di sini." Sukarnya yang itu benar. Aku memang belum terbiasa tidur seranjang dengan orang lain. Terlebih ini malam pertama kami yang kurasa ada yang kurang.

Entah apa? Tapi itu benar-benar menganggu perasaanku yang semakin gundah.

"Kim Seah?" Ia menyebutkan namaku dengan kepala menunduk. Sembari memijat pelipis ia terpejam kuat. Menimbulkan banyak guratan yang memperlihatkan bahwa ia tengah lelah atau bahkan pusing. Lantas ia menoleh. "Kita pernah satu sekolah dan aku tidak tahu siapa dirimu?"

Kali ini aku ikut duduk agar posisi kami sejajar.

"Kau tahu diriku?" tanyanya.

Senyum malu-maluku mengembang. Kepalaku memangut. "Aku sudah mengenalmu sejak orangtua kita saling berbisnis," cicitku pelan.

Entah harus memulai dari mana. Bagaimana bercerita tentangku yang sudah sejak lama mengenalnya atau tentang rasa kagumku ini -yang pasti sudah sejak dulu: tepat ketika masa orientasi siswa SMA kami berlangsung.

Dimulai dari pandangan pertama ketika melihatnya aku sudah jatuh dan memendam perasaan menyukainya dalam diam. Ya, siapa yang tidak akan jatuh pada pesona seorang Tuan Muda Min yang menjadi center kiblat lelaki idaman para siswi waktu itu atau bahkan sekarang wanita diluaran sana. Mereka akan terpikat pada perawakan serta posisinya yang menyandang gelar anak tunggal di keluarga besar Min pemilik perusahaan MinCrop.  Tapi lelaki di hadapanku saat ini tak tahu, bahkan ia tidak paham tentangku. Sekarang menjadi istrinya saja aku masih mengira ini sebuah mimpi.

"Sebelumnya maaf," kata-kata itu tiba-tiba diucapkan olehnya. Ia memandangku henyak. Aku mulai menangkap raut wajah yang nampak bingung ingin berucap. Gurat ketidaknyamanan bersarang di wajahnya yang tidak dapat kutebak.

Ia mengambil napas panjang. "Pernikahan ini sungguh mendadak, aku tidak bisa menerima situasi ini secara langsung."

Aku membisu.

"Aku tahu kita tidak saling mengenal, tapi aku tidak ingin menjadikan itu sebuah alasan. Aku akan jujur." Ia mengalihkan pandangannya ke depan. Kali ini tatapannya mengisyaratkan sebuah penyesalan. "Aku tidak sepenuhnya menerima perjodohan ini...."

Tiba-tiba dadaku seperti terpukul benda tumpul. Sesuatu menyekat tenggorokanku sampai terasa sesak.

Indera dengarku tuli. Hanya mata lebar yang tergenang yang mampu kurasakan memberi keperihan di dalam hatiku yang mulai kosong. Mendengar hal itu membuat tubuhku bergetar. Selang beberapa waktu ia beranjak meninggalkan kamar tanpa memberitahu untuk alasan apa ia tidak menerima perjodohan ini sedangkan kami telah menikah.

The Untold Truth (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang