19. Pengakuan

1.5K 137 34
                                    


Di sini, di lantai empat sebuah apartemen yang sudah jarang kukunjungi, menjadi saksi bahwa kebimbangan hatiku menuntunku pada pemuda yang entah seberapa keras egonya sekarang. Jungkook bisa saja menghiraukan belasan kali pesan suara yang aku kirim tapi kali ini ia tidak bisa mengelak kedatanganku.

Aku menekan bel apartemennya, terdengar bunyi teredam di dalam. Aku nyaris lupa hari-hari dimana aku dengan leluasanya keluar masuk di sini tanpa rasa sungkan maupun rasa canggung. Bisa saja aku menekan beberapa digit angka kata sandi di pintu yang sangat kuhapal. Namun situasi berbeda sekarang.

Baru tiga kali bel berbunyi seseorang hendak membukakan pintu. Hanya seperempat, ketika Jungkook sadar yang di luar adalah aku ia akan menutup pintunya kembali.

"Jungkook bisa kita bicara!" sanggahku sembari menahan pintu agar tidak ia tutup. "Jungkook, kumohon," pintaku dengan penuh harap.

"Pergilah," usir Jungkook berusaha untuk tetap kukuh menutup pintunya.

"Tidak! Aku ke sini perlu berbicara denganmu!" elakku dengan terus menahan pintunya.

Tangan Jungkook mulai melunak, ia membiarkan aku membuka pintu semakin lebar yang segera memperlihatkan ia saat ini tidak memakai apapun pada atas tubuhnya.

Mataku mencoba berpaling.

"Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku?!" tanyaku sedikit jengkel, melupakan yang egois adalah diriku sendiri.

"Untuk apa?" sahut Jungkook. "Untuk apa Seah aku harus mengangkatnya? Apa aku terlihat mau, terlihat mempersilahkan mendengar kau mengecewakanku lagi dan lagi!"

Hatiku seakan diremas. Nyaliku menciut menyadari betapa aku telah menyakitinya.

"Maafkan aku Jungkook, aku tidak bisa meninggalkan Yoongi. Dia tidak mengingat apa pun saat ini."

"Aku tidak peduli," tukas Jungkook.

Akhirnya aku berani menatapnya. Tidak ada apa pun yang sering kutemukan di wajahnya. Ia nampak acuh terhadapku.

Masa bodoh! Menyingkirkan semuanya, yang aku tahu saat ini aku hanya takut kehilangannya.

"Tidak Jungkook kau harus peduli!" erangku menahan tangis.

Beberapa orang berjalan melewati kami, ketika jauh sayu-sayu terdengar bisikan di antara mereka.

"Jika kau tidak ingin dibicarakan orang, masuklah." Jungkook mempersilahkanku masuk.

Aku mengikutinya di belakang sembari mengekor kemana pun ia melangkah. Dari sini aku mencium aroma kuat alkohol dan juga asap rokok yang mengendap. Di lantai berserakan beberapa botol Soju dan juga puntung rokok. Di mana pun aku tidak melihat barang tertata rapi semestinya.

"Jungkook kau tidak harus melakukan ini," gumamku.

"Melakukan apa?" sahutnya masih sama datar dan dingin.

"Merusak dirimu," selaku. Aku sadar betul ia marah, aku bahkan nyaris tak pernah melihatnya menyentuh batang rokok.

"Oh, ini ya, aku tidak merusak aku hanya bersenang-senang," ucapnya seraya mengambil satu batang rokok menyalakannya dengan korek api lalu melempar korek api itu ke sembarang arah. Asap rokok segera membungbung tinggi ke udara, aromanya yang menyengat menyekat tenggorokanku.

"Tidak Jungkook."

"Kenapa Seah, kenapa kau ke sini? Seharusnya kau senang bukan, semua berjalan seperti apa yang kau mau. Kalian menjadi suami istri yang baik sekarang, Tuan Besar itu lupa bahwa dia sudah meniduri jalang."

"Jungkook!"

Satu hembusan panjang keluar dari mulut Jungkook, membiarkan asap putih terkandung nikotin serta zat-zat jahat lainnya itu berbaur dengan udara apartemennya yang pengap. Tatapannya terkesan dingin dengan gurat kemerahan mengisi sklera-nya yang sudah jelas alkohol membuat pembuluh darah di matanya membesar.

The Untold Truth (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang