Di dalam kamar, Alvaro hanya terdiam menatap lurus dengan pandangan kosong. Langit yang ikut menjelma kelabu, membuat suasana hati orang-orang yang ada di rumah ini masih membisu dalam pilu. Alvaro masih tetap diam diantara ribuan pikiran-pikiran yang saling berdebat dalam kepalanya. Tentang sepenggal kisah bahagia yang dulu sempat ia rajut bersama Samudra. Alvaro memang masih menaruh rasa kesal untuk Samudra. Namun entah kenapa--sejak mendengar kabar kepergian laki-laki itu, membuat hati Alvaro tercabik-cabik. Seperti ada rasa sesal yang terus menghantui perasaannya. Kalimat maaf bahkan belum sempat ia suarakan pada saudaranya itu.
Alvaro sama sekali tak pernah keluar kamar sejak pagi ini. Laki-laki itu memilih mengurung diri di kamar, berniat tak mau ikut ke pemakaman. Rasanya ia begitu tak siap dengan semuanya. Mimpi buruk yang paling menakutkan ini, membuatnya jiwanya terus meraung penuh penyesalan. Alvaro tidak ingin mendengar tangis beberapa kerabat yang begitu merasa kehilangan. Segalanya justru akan membuat pikirannya semakin kacau bila mendengar tangisan orang-orang. Bahkan, ia sama sekali tak berani menatap dekat tubuh Samudra yang terbujur kaku di hadapan semua orang.
Apakah seperti ini rasanya kehilangan orang berharga yang belum sempat memberi maaf untuknya? Ataukah di sini siapa yang harus meminta maaf? Dirinya ataukah Samudra? Persetanan dengan itu semua!
Yang dirasakan Alvaro saat ini hanyalah kepiluan yang mengundang sesal. Mengapa laki-laki menyebalkan itu harus pergi tanpa mengucapkan pamit pada dirinya? Apakah sebesar itu juga Samudra menaruh rasa benci padanya?
Pintu yang dibuka, membuat Alvaro langsung menoleh mentap Rasyad yang kini berdiri di ambang pintu seraya menatapnya dengan pandangan hampa. Wajah pria itu semakin terlihat begitu dingin.
"Kamu tidak keluar?"
Alvaro diam tak menjawab.
"Sebentar lagi Abangmu akan dikafani. Kamu tidak mau lihat?"
Alvaro masih diam membisu.
"Kamu sungguh tidak mau menatap wajah Abangmu untuk terakhir kalinya?"
"Apa kamu senang melihatnya seperti itu, Alvaro?!" Rasyad membentak. Air mata untuk kesekian kalinya kembali membanjiri wajah.
"Apa kamu tidak ingat sudah berapa banyak kali Samudra berkorban demi melindungimu?" tanya Rasyad dengan nada pelan. Suaranya kini semakin serak.
"Lihat luka jahit yang ada di perutmu itu," titah Rasyad. "Samudra mempertaruhkan rasa sakitnya sewaktu kecil hanya demi memberimu satu ginjalnya yang masih utuh."
"Dan bekas luka di keningmu itu, kamu lupa? Samudra hampir mati waktu dia menyelamatkan kamu dari tawuran menyeramkan itu!" ujar Rasyad.
"Selama ini Samudra menyimpan penderitaannya dari kamu, agar ia tetap terlihat kuat dan bisa kamu andalkan sebagai kakak yang baik. Kenapa kamu justru bersikap sebaliknya?"
Alvaro mengepal kedua tangannya dengan penuh emosi. Laki-laki itu berusaha mati-matian untuk menahan air matanya agar tak jatuh saat ini juga. Namun semakin ia berusaha, air mata itu kini semakin mengalir deras membasahi wajahnya.
Tubuh Alvaro bergetar dalam diam. Di sela-sela tangisnya, ia merasa begitu hancur. Dulu, ia terlalu fokus melihat satu kesalahan kecil yang tak sengaja Samudra lakukan dan melupakan seribu kebaikan yang saudaranya itu lakukan untuknya. Mengapa ia sekejam itu?
Alvaro kini berteriak frustrasi sembari mengusap wajahnya dengan kasar. Sepertinya, sekarang dan selamanya ia akan selalu dihantui bayang-bayang penyesalan. Alvaro takkan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri karena sejak saudaranya masih hidup, ia tak pernah mencari tahu seperti apa rasa sakit yang dipendam Samudra sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Kata [COMPLETED]
Teen Fiction"Samudra, pertemuan kita layaknya sebuah kebisuan yang tersesat dalam keheningan yang membelenggu. Hanya sebuah angan, yang kini hanya menjelma bayang-bayang." "Kepergianmu, mengapa membuatku semakin mati rasa?" ...