"Samudra, kenapa harus repot-repot buat suka sama aku? Jangan menyakiti perasaan kamu sendiri," ujar Melody hingga membuat tangan Samudra beralih mengelus surai miliknya.
"Indah, perasaan saya adalah milik saya sendiri. Kalaupun saya udah terlanjur menjatuhkan dunia saya buat kamu, itu artinya kamu nggak harus menganggapnya beban. Di sini, saya udah siap menerima peran sebagai figuran dalam hidup kamu," ucap Samudra dengan jelas.
"Saat ini tugas kamu hanya satu. Tetap ikuti apa kata hati kamu. Selama kamu meminta saya buat mundur, saya akan mundur, Indah. Tapi untuk saat ini tolong tetap izinkan saya jadi teman baikmu. Selama ada hal yang bisa membuat kamu tersenyum, saya siap melakukan semuanya buat kamu," lanjutnya lagi hingga membuat Melody shock tak terduga.
Pelukan dari Melody yang terjadi secara tiba-tiba membuat wajah Samudra menegang sempurna. Sementara Melody kini menenggelamkan kepalanya di dada bidang milik laki-laki itu. Rasanya memang tidak senyaman dipelukan Alvaro. Namun untuk pertama kalinya, seorang Samudra mampu membuat Melody merasakan desiran aneh hadir dalam hatinya.
Dengan perasaan yang sedikit gugup bersama dengan hati yang berdebar tak keruan, perlahan Samudra membalas pelukan gadis itu. Karena saat ini, ialah kesempatan yang hanya sesekali datang menghampirinya. Samudra tidak akan menghalangi keinginan Melody dengan cara merubah segalanya. Samudra hanya ingin memberi seluruh semesta miliknya untuk Melody. Walaupun jalan keluarnya ialah dengan mengorbankan perasaannya.
Samudra pernah bilang bahwa dia selalu siap menjadi lautan untuk menampung kesedihan Melody. Samudra juga bernah berkata jika mata hazel milik Melody adalah pelangi terindah untuknya. Dia benar. Melody yang salah. Ia salah karena masih meragukan ketulusan laki-laki sederhana itu. Menyeramkan sekali jika ia harus membayangkan jika keesokan harinya Samudra akan ikut menghilang dari hidupnya.
Tapi--mengapa Melody justru merasa takut kehilangan laki-laki itu? Mengapa keinginan hatinya kali ini juga mulai ikut egois?
Saat pelukan keduanya mulai terlepas, Melody masih saja diam. Perasaan bersalah masih saja menyelimuti wajahnya. Ia tidak memiliki alasan lagi untuk mencegah hati Samudra jatuh kepadanya.
Semesta, mengapa Melody begitu sulit menerima semua ini? Mengapa harus Alvaro si laki-laki dingin dan judes itu yang harus ia sukai?
"Indah, perkataan saya yang tadi kalau memang mengganggu, lupakan saja ya?"
"Nggak bisa Sam, kalaupun itu udah jadi keputusanmu, aku nggak bisa mencegahnya. Sama seperti aku sendiri yang nggak bisa berhenti suka sama Alvaro."
"Aku tau gimana rasanya perasaan kita nggak terbalaskan. Aku tau gimana sedihnya saat orang itu lebih memilih untuk mencintai orang lain ketimbang seseorang yang selalu ada di dekatnya. Aku tau, Sam. Bahkan sampai saat ini kita berada di posisi yang sama. Hanya saja, kita begitu sulit buat menemukan jalan keluar dari kebodohan yang kita ciptakan sendiri." Melody kembali berujar hingga membuat wajah Samudra sedikit berpaling.
Saat menjauhkan wajahnya, perkataan Samudra kali ini berhasil membuat Melody sulit untuk mengeluarkan suara.
"Sebesar apa perasaan yang kamu titipkan buat Alvaro?"
Tepat ketika senja menutup usia di sore ini, kalimat tanya yang baru saja keluar dari pita suara Samudra membuat Melody spontan langsung menatapnya dengan jantung yang berdegup cepat.
Seakan begitu tak kuasa untuk menjawabnya, Melody kini memalingkan wajahnya. Mereka kini saling diam tak lagi bersuara. Saling merutuki diri masing-masing dan juga saling menelan kecewa. Seharusya, tidak ada perasaan yang harus dikorbankan. Tak perlu kata sesal untuk menyalahkan waktu yang sudah berlalu. Karena hakikatnya, ini tentang sebuah pilihan. Tentang takdir yang sudah direncanakan Tuhan namun tidak pernah mereka harapkan. Rasanya begitu sulit untuk terlepas dari zona yang membuat tiap orang merasa betah. Selalu ada halangan dan takdir tak terduga bagi tiap insan yang ingin merajut kisah .
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Kata [COMPLETED]
Teen Fiction"Samudra, pertemuan kita layaknya sebuah kebisuan yang tersesat dalam keheningan yang membelenggu. Hanya sebuah angan, yang kini hanya menjelma bayang-bayang." "Kepergianmu, mengapa membuatku semakin mati rasa?" ...