Matanya terlalu indah untuk dilihat, bahkan tiap bait sajak yang kutuliskan tak dapat mendeskripsikannya secara menyeluruh.
Senyumannya selalu merekah sempurna seperti kelopak bunga matahari. Cerah menabur tawa, hingga mengalahkan tiap alunan melodi musik merdu.
Dan mirisnya, aku hanya bagaikan seekor kunang-kunang. Tersesat di malam sunyi, dengan seutas warna kuning yang mulai meredup.
Samudra kini menulis pada lembaran buku hitam. Tidak lagi pada secarik kertas kekuningan yang kadang ia selip pada saku celananya.
Di atas pesawat, Samudra dapat melihat hamparan lautan di bawah sana. Bahkan dirinya sama persis dengan lautan samudera itu. Menenangkan, namun permukaannya yang tenang terus-menerus diterpa ombak. Tiap melihat lautan, hatinya selalu tenang dan tentram seperti air yang menghanyutkan. Namun entah mengapa kali ini rasanya berbeda. Hatinya masih diselimuti kegelisahan dan ketakutan karena terus berdiam diri tanpa menyuarakan kebenaran hidupnya selama ini. Ia seperti disiksa oleh kebungkaman dan pengalihan yang ia buat sendiri.
Satu jam lagi mungkin pesawat yang ditumpangi Samudra akan mendarat ke Jakarta. Dua hari berada di negeri 5 menara itu membuat suasana hatinya berlarut-larut dalam sepi dan semakin menjelma rindu.
"Samudra, are you okay?" ujar ayahnya sambil menepuk punggung anaknya itu.
Samudra hanya mengangguk kecil, "Yes, Dad," jawabnya pelan. "Pa, apa Alvaro nggak bakal cari kita? Apa Alvaro bakal merasa sepi saat kita selalu pergi tiba-tiba tanpa pamit?"
"Nak, Papa yakin suatu saat Alvaro akan memaklumi keadaan. Untuk saat ini, kamu harus fokus dengan dirimu sendiri," ujar Rasyad memberi pengertian.
"Tapi Pa, Samudra takut dia bertambah kecewa dan merasa sikap Papa nggak adil karena selalu luangin waktu buat Samudra."
"Samudra, percaya sama Papa. Jika dia sudah belajar mendewasakan pikirannya selama ini, dia pasti tidak lagi akan berpikir seperti itu."
Alih-alih, pandangan ayahnya mengarah pada sebuah buku yang ada digenggamannya. Tanpa perlu meminta izin, kini ia meraih buku itu dan membaca lembar demi lembar sambil tersenyum singkat.
"Kamu begitu menyukainya?" tanya Rasyad sambil mengelus kepala Samudra hingga membuat Samudra hanya tertawa kecil sambil menatap ayahnya dalam-dalam.
"Dia gadis yang unik, Pa."
"Papa mengerti Samudra. Makin ke sini, Papa makin penasaran dengan sifat asli dari gadis yang sering kamu buatkan puisi secara diam-diam itu."
"Coba Papa liat ke bawah. Karang di lautan itu, tidak bisa kita lihat dari sini, karena hanya menyelam satu-satunya cara buat melihat karang itu dengan jelas. Dia seperti karang, Pa. Tetap kuat walau sering dihantam berkali-kali. Ketegaran hatinya yang berhasil buat Samudra jatuh sama dia," papar Samudra nyaris jujur tanpa celah.
Percayalah--bersama ayahnya, ia selalu mengungkapkan semuanya tanpa kebohongan. Sejak dulu, Samudra tak bisa hidup tertutup. Apapun yang ia lihat, rasakan dan perlu diceritakan, maka ia akan menceritakan segalanya.
Rasyad hanya membalas Samudra dengan tatapan mata yang begitu dalam. Sorot mata sendu dari pria itu dapat ditangkap Samudra dengan jelas. Samudra tahu akan berakhir seperti apa segalanya nanti. Bahkan, ayahnya belum bisa menerima itu. Bahkan, lautan di bawah itu menggambarkan kehidupan Samudra yang sebenarnya. Seakan menjelma tenang dan damai, namun bayang-bayang hantaman ombak besar selalu terlintas dalam kepala. Ia sedih melihat anaknya yang tak pernah bermain leluasa dengan teman-temannya. Ia sedih melihat anaknya yang terus duduk di pojok kelas sendirian tanpa seorang teman. Bahkan, ia juga sedih saat Samudra selalu menjawabnya dengan jawaban "tak apa-apa" disaat kebahagiaannya tengah hilang lenyap terbawa angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Kata [COMPLETED]
Fiksi Remaja"Samudra, pertemuan kita layaknya sebuah kebisuan yang tersesat dalam keheningan yang membelenggu. Hanya sebuah angan, yang kini hanya menjelma bayang-bayang." "Kepergianmu, mengapa membuatku semakin mati rasa?" ...