Melody masih saja setia mengekori Alvaro dari belakang. Ia senang sekali bisa jalan-jalan dengan Alvaro yang sudah mulai belajar membiarkan ia jadi temannya. Mungkin ini adalah hal teraneh dan terkonyol yang dilakukan Melody. Gadis itu rela mengorbankan perasaannya demi bisa selalu dekat dengan Alvaro.
"Besok pulang bareng lagi kan?"
Alvaro yang baru saja sampai di parkiran mall memilih mengabaikan suara itu lalu langsung memasang helm full facenya.
"Alvaro? Besok bareng lagi kan, kan?" Melody bertanya lagi dengan mendekatkan wajahnya pada Alvaro yang sedang menarik resleting jaketnya.
Hal tersebut membuat Alvaro menghela napas malas lalu memundurkan wajah Melody yang terlalu dekat dengannya. "Jangan deket-deket."
"Tapi pulang bareng kan?"
"Nggak."
"Yah, Alvaro nggak seru! Katanya kita udah temenan," ujar Melody setengah cemberut.
"Jadi temen lo bukan berarti harus nempel mulu sama lo," ujar Alvaro.
"Alvaro, kata-kata kamu kenapa selalu sadis banget sih? Hati aku sakit tau."
"Bukan urusan gue."
"Jahat banget," cibir Melody sambil melipat kedua tangannya di depan dada seolah-olah ia sedang merajuk.
"Memang iya."
Mendengar itu, Melody bertambah kesal lalu menekuk wajahnya. Lain halnya dengan Alvaro yang kini sudah menyalakan mesin motornya lalu menoleh sebentar ke arah Melody. "Mau gue tinggal?"
Mendengar itu, kedua mata Melody membola karena kaget. "Enggak lah!"
Melody kemudian naik di atas boncengan Alvaro dengan bantuan pegangan pada pundak laki-laki itu karena tinggi badan Melody begitu kontras dengan ukuran motor besar milik Alvaro.
Saat dalam perjalanan, tentu tidak ada keheningan yang melanda. Karena Alvaro sedang membonceng gadis cerewet yang suaranya selalu nyaring di mana saja. Melody memang type orang yang susah diam, semuanya akan jadi bahan pembahasan, kecuali menyangkut tentang masalah keluarganya. Kali ini Melody tidak akan lagi bersikap modus kepada cowok super judes plus dingin dan sarkas seperti Alvaro, ia sudah tobat dan tak lagi mau berakhir diturunkan di jalan.
Dahi Melody berkerut saat menyadari Alvaro membelokkan motornya di persimpangan menuju jalan yang bertolak belakang dengan arah rumahnya.
"Mau ke mana? Kok nggak anterin aku pulang?" tanya Melody.
"Mau jual lo ke om-om."
"Alvaro! Kamu tega banget sih? Mentang-mentang aku selalu recokin dan maksa kamu, kamu malah mau jual aku ke om-om? Marah kamu jangan gini amat dong, Alvaro."
"Lo bisa gak, sebentar aja nggak nyinyir?"
Melody kemudian membekap mulutnya. "Yaudah, serius. Kita mau ke mana?"
"Pemakaman umum."
Melody kemudian langsung memukul pundak laki-laki itu. "Nggak jadi dijual ke om-om kamu mau langsung kubur aku?!"
Alvaro memilih diam saja. Merespon Melody tidak akan menghasilkan apa-apa. Yang ada malah membuang waktu.
****
Beberapa menit kemudian dua orang itu sampai di pemakaman umum. Melody lumayan terkejut saat Alvaro membawanya menuju dua makam dengan nisan yang bertuliskan; 'Anggara Sucipto & Hestia Maya'. Melody bisa menebak langsung jika mereka adalah orang tua Alvaro. Indah membatin, pantas saja Alvaro sulit membuka diri dengan orang baru. Mungkin ia susah melepas jika sudah tergenggam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Kata [COMPLETED]
Teen Fiction"Samudra, pertemuan kita layaknya sebuah kebisuan yang tersesat dalam keheningan yang membelenggu. Hanya sebuah angan, yang kini hanya menjelma bayang-bayang." "Kepergianmu, mengapa membuatku semakin mati rasa?" ...