Pandangan Alvaro menyapu di sekeliling kedai kopi yang kini begitu banyak pengunjung. Lagi-lagi, ia menghela napas pasrah. Seseorang yang ia harapkan kehadirannya mungkin tidak akan menginjak tempat ini lagi atau bahkan tidak akan pernah. Dunia begitu gemar mematahkan hatinya. Tetapi risikonya memang seperti itu, bukan? Jika bukan untuk patah hati, lalu untuk apa kita jatuh hati?
Salah satu barista yang sudah tidak asing lagi melihat Alvaro karena sering berkunjung ke tempat ini kini mulai menyapa laki-laki itu.
"Masih mencari Mbak Nada, ya?" tanya barista yang berumur kisaran tiga puluhan itu.
Alvaro hanya merespon dengan anggukan kecil lalu tersenyum.
"Oalah, udah tiga tahun lebih Mbak Nada nggak ke sini lagi. Saya juga nggak tahu pasti apa alasan Mbak Nada pergi secara mendadak. Padahal biasanya dia sering banget datang ke sini."
Alvaro hanya mengangguk paham sambil berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Ia kemudian memutuskan memesan secangkir kopi untuk pertama kalinya setelah tiga tahun lebih ia tidak pernah meminumnya. Entah mengapa secara tiba-tiba ia mau meminum kopi. Ia juga bingung dengan dirinya saat ini. Mungkin faktor rindu terlalu menguasai nalurinya.
Barista yang tadi itu kini datang membawa secangkir kopi yang ia pesan. Setelah mengucapkan terima kasih pada barista itu, Alvaro kemudian meneguknya sedikit. Saat menyesapnya, matanya tertutup lalu sejurus kemudian bayang-bayang tentang Nada hadir dalam benaknya selayaknya hantu yang memenuhi isi kepalanya. Yang ia dapatkan hanya rasa pahit pekat yang begitu menyiksa.
Rasanya begitu mustahil bila harus menyangkal dan bertingkah seolah-olah ia telah mengikhlaskan Nada sepenuhnya. Semua begitu sulit. Yang jelas, semua hal yang berkaitan tentang Nada sudah melegenda dalam hidupnya.
"Al, kalau kopi nggak pahit berarti dia nggak lagi punya arti."
"Bukannya pahit itu nggak menyenangkan?"
"Kalau kita nggak pernah rasain bagaimana pahitnya kehidupan dunia ini, lantas pengalaman apa yang bisa kita dapatkan kalau hidup kita berjalan begitu-begitu saja?"
"Jadi aku harus gimana? Aku nggak suka pahit."
"Tutup mata kamu lalu bayangkan hal menyenangkan yang pernah kamu rasakan. Aku jamin, rasa pahit dari kopi perlahan bisa kamu nikmati."
Alvaro menutup kedua matanya perlahan. Ia berusaha mencoba untuk mengingat salah satu hal terindah yang pernah ia rasakan. Ia mengingat satu momen yang membuatnya sejenak melupakan kisah tragis yang pernah ia rasakan. Waktu itu, Nada menariknya yang semula berteduh di halte kemudian menari di bawah hujan. Nada berhasil membuatnya menyukai tiap rintik yang turun dari langit. Seolah, segala beban dan pemikiran yang membuatnya sedih terkikis begitu saja. Sejak saat itu, ia baru sadar jika telah jatuh cinta pada dua hal. Yang pertama hujan, lalu kemudian ia jatuh pada kesederhanaan seorang Nada Mahesti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Kata [COMPLETED]
Teen Fiction"Samudra, pertemuan kita layaknya sebuah kebisuan yang tersesat dalam keheningan yang membelenggu. Hanya sebuah angan, yang kini hanya menjelma bayang-bayang." "Kepergianmu, mengapa membuatku semakin mati rasa?" ...