57. TITIK TERBERAT

377 39 12
                                    

Alvaro menutup pintu kamarnya dengan keras seolah bantingan pintu itu membantu meluapkan emosi yang dirasakan saat ini. Lelaki itu mengusap wajahnya frustrasi, menyandarkan tubuhnya di pintu dan perlahan tubuhnya merosot hingga menyentuh lantai. Alvaro menutup kedua mulutnya, menahan agar suara tangisnya tak di dengar oleh siapa-siapa.

Hari pertama ia terbangun dari tidur panjangnya mengingat mimpi buruk itu, Alvaro benar-benar kacau.

Sebelum ia pindah dari SMP lamanya, sebelum ia mengalami kecelakaan dari balap liar yang membuatnya hanya melupakan mimpi buruk itu, dan setelah ia terbangun dari tidur panjang dan mengingat kembali hal yang sudah ia lupa itu, Alvaro kembali hancur. Perasaan bersalahnya kembali membuncah. Bagaimana bisa ia hidup tenang setelah selama ini tak pernah berbuat apa-apa untuk menyelamatkan gadis itu?

Menangis dalam diam rasanya mungkin lebih menyakitkan dari orang yang menangis secara terbuka dan memiliki sandaran kuat. Tapi Alvaro—lelaki itu menanggungnya sendirian. Ia kini memukul kepalanya sendiri dengan brutal. Dari sekian banyaknya kenangan buruk, mengapa ia harus kembali mengingatnya dengan jelas? Wajahnya, air matanya yang selalu tumpah, suaranya yang selalu bergetar, rambutnya yang selalu acak-acakan karena dirundung. Alvaro kembali mengingatnya.

"Manusia yang kupikir baik itu jahat. Dia selalu memakai topeng untuk menyembunyikannya. Menjadi pemenang kebahagiaan hanya dengan menjatuhkan orang lain."

Alvaro kacau.

Namun dari sekian banyaknya orang—mengapa harus saudara kembarnya Melody? Mengapa...ia membiarkan Elsa saat itu menderita sendiri? Mengapa ia harus mengingat hal buruk yang pernah ia lakukan saat gagal mencegah gadis itu bunuh diri?

Rasanya saat itu Alvaro menjadi monster yang paling mengerikan bagi Elsa. Saat ia melihat gadis itu dirundung, saat ia tak angkat bicara dan membela Elsa saat gadis itu dituduh, rasanya Alvaro ingin mengutuk dirinya.

Kehadirannya di dekat Melody mau tak mau suatu saat akan menjadi luka terbesar untuk gadis itu. Sudah cukup. Alvaro tak ingin menyakitinya lagi. Alvaro tak ingin monster jahat di masa lalu yang tak menolong adiknya, menjadi hal istimewa dan sosok yang paling gadis itu sukai.

"Mel, dari sekian banyaknya rasa sakit, kenapa mencintai lo mengharuskan gue melewati lembah dosa yang gue lakuin?"

Bagaimanapun caranya, Melody harus membenci dirinya. Melody harus membalas rasa sakit yang dialami adikinya—lewat dirinya.

****

Alvaro menyalakan shower yang kini mulai mengeluarkan air hangat. Sengatan perih pada tiap permukaan kulitnya yang masih membekas oleh luka terus diterpa guyuran air. Ada luka yang masih baru di telapak tangan kanannya. Luka saat ia menghamncurkan cermin dan menggenggamnya hingga tangannya mengeluarkan darah. Alvaro tak peduli dengan pedihnya. Begitu lantai kamar mandi menyatu dengan air dan warna darah, lelaki itu terduduk dengan punggung bersandar pada tembok, membiarkan tubuhnya terus dibasahi oleh guyuran air.

Pandangan lelaki itu masih kosong, seolah masih bertanya-tanya sudah berapa banyak luka yang dirasakan Melody karena dirinya?

"Kamu hebat banget ya, sekali hentak doang kamu berhasil menghancurkan aku."

"Disaat aku nungguin kamu sampai sadar, berharap biar kita bisa kembali seperti dulu, kamu justru memilih pergi disaat aku membutuhkan kamu."

Kata-kata itu terus menggema dalam kepalanya. Putaran-putaran kalimat menyedihkan dari seorang gadis yang membuatnya terlihat seperti bajingan.

Tapi, dia memang bajingan sungguhan.

"Alvaro, aku sayang kamu. Tapi kamu pergi dan nggak lagi peduli."

Melody Kata [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang