Seperti tangga nada yang mengalirkan melodi-melodi syahdu. Seperti itu caraku mencintaimu. Namun, mencintaimu rasanya seperti memeluk duri. Semakin kupeluk erat, semakin sakit pula rasanya.
****
Melody masih belum percaya jika segala yang ia usahakan mati-matian berakhir sampai di sini. Di sebuah tempat menyeramkan yang sering kali menjadi alasan datangnya sebuah tangis haru dan sedih ketika datang mengantar dan menjemput.
Ya, bandara.
Mengapa Tuhan harus mencinptakan titik ini?
Mengapa harus ada bandara?
Apakah agar manusia bisa kembali pulang dan pergi sesuka hati?
Jujur, Melody tidak bisa berbohong jika ia masih mengharapkan laki-laki itu. Dan perpisahan ini, membuatnya semakin merasa begitu menyedihkan. Dengan tekad yang kuat Melody akhirnya berusaha keras untuk menghapus tiap tetes air matanya agar tidak merembes turun. Melody harus kuat. Semalang apapun kondisi hatinya saat ini, ia harus sadar jika di sisi lain juga akan ada hati yang terluka jika melihatnya menangis bodoh seperti ini.
Jika semua sudah benar-benar berakhir, maka biarkanlah Melody untuk hidup tenang tanpa air mata lagi saat ini dan seterusnya. Ia akan mulai untuk melangkah mundur dengan sepenuhnya, melepaskan tiap jejak langkah yang ingin sekali menariknya kembali pada pelukan Alvaro. Mulai detik ini Melody akan sungguh-sungguh untuk membuang segala rencana istimewa yang telah ia rancang hari-hari lalu. Dulu, jika Melody tidak sadar pernah berkata padanya bahwa;
"Aku cuma mau izin untuk mencintai kamu, tanpa berharap apa-apa."
Maka kini Melody benar-benar ingin menarik perkataannya lagi. Tidak akan pernah lagi ia biarkan dirinya untuk mengatakan sebuah kalimat pembodohan yang akan membuat dirinya kembali terbuang.
"Indah?"
Tidak langsung menoleh, Melody terlebih dahulu menghapus tiap bekas air mata di wajahnya, agar tidak tersisa jejak kesedihan yang bisa Samudra lihat. Melody tidak mau membuat laki-laki itu tahu jika dirinya begitu masih merasa kehilangan.
"Indah kamu nggak papa?"
Kali ini, suara Samudra mulai memelan. Antara tahu apa yang dipikirkan Melody sekarang, ataukah hanya karena laki-laki itu juga ikut merasa sedih karena harus berpisah dengan adiknya? Entahlah.
Melody kemudian berbalik dan menyuguhi seulas senyum tipis pada Samudra. Gadis itu kemudian berjalan ke arah Samudra yang berada tak jauh di hadapannya lalu menggandeng tangan laki-laki itu. "Aku nggak papa, Samudra. Kita boleh pulang sekarang?" jawaban sekaligus pertanyaan Melody membuat Samudra tersenyum dan mengangguk menyetujui.
Lagi pula, Ayah Rasyad sudah ada bersama Alvaro dan Nada, menyaksikan dan merasakan dengan baik kepergian sepasang manusia itu. Setidaknya, melihat adiknya sudah sembuh, Samudra sudah merasa sedikit tenang walau kedamaian masih belum tercipta bagi mereka. Padahal saja, Samudra begitu amat mengharapkannya.
"Kamu merasa sedih atau lega dengan perpisahan ini, Indah?"
Menarik napas panjang setelah menetralkan detak jantungnya yang berpacu dua kali lipat ketika mendengar pertanyaan Samudra, dengan lugas akhirnya Melody menjawab, "Aku sedih karena aku harus menyesali kebodohan aku, tapi di satu sisi aku merasa senang karena bisa terbebas dari kebodohan itu, Samudra. Aku merasa lega, karena akhirnya aku bisa di kasih kesempatan buat bisa mencintai kamu dengan seutuhnya."
****
Enam bulan telah berlalu membuat Samudra dan Melody saling mengunci diri. Kedekatan mereka berdua terlihat terjalin dengan begitu baik. Namun kenyataannya, perasaan mereka masih saling meredam ego, begitu pula dengan Melody yang terlihat masih berpura-pura baik-baik saja. Seolah, kepergian Alvaro tidak memberi dampak sepi pada kehidupannya. Samudra dapat menebak segala isi hati Melody hanya lewat matanya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Kata [COMPLETED]
Tienerfictie"Samudra, pertemuan kita layaknya sebuah kebisuan yang tersesat dalam keheningan yang membelenggu. Hanya sebuah angan, yang kini hanya menjelma bayang-bayang." "Kepergianmu, mengapa membuatku semakin mati rasa?" ...