Sekitar 15 orang yang menjadi korban pembunuhan itu, kalau di tarik benang merahnya semua korban adalah wanita paruh baya. Seorang ibu yang pekerjaannya rumah tangga atau memang bekerja sampingan.
Cara membunuhnya pun sama di pukul kemudian di cekik, dua sampai tiga orang di laporkan di perkosa terlebih dahulu sebelum di bunuh. Namun kami tidak mendapatkan sperma dari si pelaku karena sepertinya dia membersihkan nya dengan tisu.
Hanya sehelai rambut pria yang kami dapatkan, namun itu pun masih dalam proses otopsi.
Penyelidikan seharusnya memang terus berlanjut, namun keributan di ibu kota membuat hampir seluruh petugas polisi dikirim kesana.
Setelah saya dengar itu, saya teringat dengan pesan dari adik saya, memang kasus penculikan anak itu terjadi di SMA.
Namun saya tidak memperdulikan hal itu, saya malah lebih pokus kepada pelaku yang tentu saja berkeliaran di luar sana.
Saat melihat anak-anak dan suami mereka menangis hati saya merasa hancur.
Kehidupan memang tidak bisa di kembalikan tapi setidaknya saya dapat menangkap si pelakunya dan memberikan hukuman yang setimpal.
"Apa yang terjadi setelah itu," ujur Bella sambil menatap saya lekat.
Seperti yang kalian ketahui sekarang, pelakunya belum tertangkap, mungkin itu juga yang membuat para polisi bergegas ke ibu kota, mereka lebih memilih nyawa yang masih ada harapan untuk di temukan dari pada kasus yang hampir padam di sana.
Dari sana saya lebih mengerti mana yang lebih utama, menyelamatkan nyawa lebih penting dari pada memberi keadilan. Memang sedikit kejam.
Tapi bayangkan jika semua masyarakat berpikiran seperti itu, saya yakin semua korban kriminal bisa di selamatkan.
Namun waktu itu mata saya tertutup oleh kabut ego saya sendiri, tidak mendengarkan komandan adalah salah satu buktinya.
Pantas saja rekan saya berkata "dia masih belajar," bukan berkata tapi lebih ke bergumam atau berbisik di belakang saya.
Meski begitu saat itu saya tidak memperdulikan omongannya, mungkin karena saya satu-satunya wanita di kantor itu, sikap saya sangatlah tertutup dan keras.
Saya tidak ingat ada berapa polisi yang berjaga disana namun kantor rasanya sangat sepi.
Saat itu ayah anda masih di Surabaya, mungkin dia lah satu-satunya yang bisa berjaga di sana.
Hasil lab soal rambut yang saya ceritakan tadi sudah keluar, rambut itu milik seorang pria berusia sekitar 45 tahun.
Tersangka bernama Rendi, dia memiliki dua orang anak, satu anaknya seusia kalian dan satu lagi masih bersekolah SMP.
Untuk istrinya sendiri, beliau adalah korban pembunuhan tersebut.
Pada akhirnya Pak Rendi pun menjadi korbannya, saya sangat menyesal dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada beliau.
"Maksud kakak apa," saya menengok ke kiri dimana suara itu keluar dari mulut Brian.
Kepolisian salah mengira bahwa pembunuh berantai itu adalah Pak Rendi. Awalnya kami menganggap bahwa memang beliau yang membunuh istrinya kemudian membunuh para korban lainnya.
Karena hal itulah kami menangkap Pak Rendi di kediamannya, beliau terus menyangkalnya. Harusnya saya mendengarkannya waktu itu.
Beruntung bukti tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa dirinya bersalah, pada akhirnya kami tidak mampu menahan pak Rendi.
Sehelai rambut itu memang bisa saja menempel di pakaian sang istri saat bersentuhan atau apapun itu.
Kenyataan tidak berakhir disana. Sama seperti susu yang terkena irisan bawang, susu yang murni itu sebanyak apapun akan tetap berbau menyengat dan tidak bisa di hilangkan.
Asumsi publik pada keluarga Pak Rendi sungguh sangat menyeramkan. Apalagi para keluarga korban yang terus menyudutkannya.
Saya beberapa kali melihat banyak warga melemparinya dengan apapun yang mereka bawa.
Saya bahkan mendengar bahwa pada akhirnya Pak Rendi hanya bisa mengurung diri di rumahnya tanpa bisa berbuat apapun.
Di benak saya waktu itu, mulai muncul rasa tidak enak, jika saja memang si pelaku adalah dirinya, saya tidak masalah. Memang pelaku harus mendapatkan hal seperti itu, bahkan lebih buruk dari itu.
Tapi jika saja saya salah dan semua ucapan beliau benar, maka seumur hidup rasanya diri ini telah berdosa.
Saya yakin bukan hanya beliau yang terkena imbasnya, anak-anak nya pun saya yakin mereka menerima cemoohan dari masyarakat atau pun teman sebayanya.
Penderitaan yang berkali lipat setelah di timpa duka dengan sang ibu yang meninggal. Entah kenapa saat itu hati saya terus saja terasa sakit.
Beberapa hari setelahnya, hari itu dimana Pak Rendi meninggal dunia.
Anak beliau yang bernama Aldeon mengunjungi apartement saya. Dia terus memencet bel dan berusaha masuk.
Saya dengan santainya membuka pintu apartement saya tanpa curiga sedikit pun.
Brukk
Suara pintu yang terlempar kedalam begitu saja, anak itu membawa pisau di tangannya.
Dia dengan jelas memancarkan warna mata merah yang tidak bisa saya lupakan sampai sekarang.
Dia menyodorkan pisau itu ke tubuh saya dan memaksa saya untuk masuk kedalam apartement dengan intruksi untuk tetap diam.
"Sebentar, tapi saya belum mengerti mengapa kakak menceritakan semua ini kepada kita," ujur Bella sambil menaikan alisnya.
"Aishh lo ganggu aja,"
Saya tertawa mendengar ucapan Mario, dia terlihat serius melihat saya seperti sedang menyaksikan adegan drama.
Sudah tenang, saya menceritakan ini karena saya takut kalian tidak memahami saya. Saya takut bahkan Dino sendiri tidak bisa memahami kakaknya yang mencari alasan untuk tidak menyelamatkannya.
"Apakah mungkin pelaku pembunuhan berantai itu Aldeon," saya melihat Brian yang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Saya hanya biasa tersenyum, bahkan terlihat sangat lebar saat Bella dan Mario menatap kearah Brian.
***
Happy reading
Enjoy to story
Idahagisna.
Jangan lupa vote dan komen yah :)
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSING
Mystery / ThrillerGenre : Misteri/Thriller, Sekolah, Fiction Update : END "Sudah lama saya memperhatikan kalian". ... Hilangnya anak-anak SMA Cempaka, sempat membuat geger akhir tahun ini. Brian adalah anak terakhir yang dikabarkan hilang dari sekolah. Sebenarnya apa...