31. Dia sudah meninggal

9.2K 387 4
                                    

Sudah satu minggu lebih Naura berada dirumah orangtuanya, sementara Aksa masih dilarang untuk menemui Naura disana.

Hesti?
Jangan tanya..

Aksa bahkan tidak berani datang kerumah bundanya itu, bagaimanapun dia sudah membuat orangtuanya malu, bahkan marah besar.

Ia frustasi, mengacak-acak rambutnya

Aaarggghhh!!!!

Aksa memutuskan menyetir mobilnya menuju rumah Naura, ia tidak bisa diam saja. Ia tidak mau keluarga Naura mengurus perceraian mereka.

Mobilnya kini terhenti beberapa meter dari rumah Naura, disana ia melihat Naura dan Dian memasuki mobil dan pergi meninggalkan rumah, tak pikir panjang Aksa pun segera menyusul mobil itu dari belakang.

Mobil hitam Naura berhenti didepan halaman rumah sakit.
Aksa buru-buru turun untuk mengikuti kemana Naura dan Dian pergi.

Setelah ditelusuri, ternyata Naura datang ke Rumah sakit untuk melakukan USG yang tertunda seminggu yang lalu, ia ingin mengetahui kondisi anaknya, maka dari itu ia memeriksakan kandungannya dengan diantar mamanya.

Dadanya terasa nyeri memandang Naura dengan perut besarnya dari arah jauh, ingin sekali ia mendekat dan memeluk istrinya, juga mengelus perut istrinya untuk berbicara kepada calon anaknya.

"Ra, perut mama mules nih, mama ke toilet dulu ya, kamu nunggu disini dulu ngga apa² kan?" tanya Dian memastikan.

"Iya, nggak apa² ma. Naura tunggu disini."

Hatinya bergejolak, ia ingin sekali mengambil kesempatan ini untuk mendekat dan berbicara pada Naura, tapi.....

Deg!

Naura terkesiap berdiri saat melihat seorang pria yang tentunya tidak asing, berjalan menghampirinya.

Segera ia mengambil tas yang ia taruh di kursi dengan maksud segera pergi. Tetapi ia tak berhasil saat pergerakannya dicekat oleh Aksa.

"Naura, tunggu. Saya bisa jelasin semuanya." tuturnya dengan wajah melas.

"Maaf mas, tolong lepasin." Naura mencoba menepis dengan pelan namun gagal,

"Naura, tolong kasih saya waktu 10menit untuk bicara, kalau kamu nggak kasih saya kesempatan untuk menjelaskan, bagaimana bisa kamu menyimpulkan suatu kejadian hanya berdasarkan apa yg kamu lihat?" Naura tertegun. Apa yang Aksa katakan memang ada benarnya. Ia pun mencoba menyingkirkan egonya untuk mendengar penjelasan Aksa, bagaimanapun juga ia tak mau menyesal di kemudian hari dengan alasan konyol.

"Yaudah, silakan jelasin."

"Duduk dulu, Ra." Tanpa basa-basi Naura pun langsung duduk kembali di kursi tempatnya tadi.

"Saya minta maaf, atas kejadian minggu lalu. Saya akui, saya salah. Maafkan saya."

Naura hening tak menjawab..

"Wanita itu namanya Natasha, dia mantan pacar saya, dan juga cinta pertama saya."

Darah Naura bersesir, dadanya berdetak tak beraturan, tangannya gemetar. Ingin sekali ia pergi agar tak perlu mendengarkan Aksa lagi.

"Lalu?"

"Kami sudah berpisah sangat lama, sekitar 7 tahun yang lalu. Kami berpisah karena keputusan bersama dan memilih untuk murni berteman saja, sampai akhirnya Natasha hilang tidak ada kabar, bertahun-tahun ia tak pernah bisa di hubungi. Saya pun sudah mengikhlaskan."

"Lalu, saat kemarin saya mau ke ruang dokter untuk menyusul kamu, tiba² saya lihat dia di rumah sakit ini, dengan wajah yang pucat dan badan yang kecil seperti tak terurus. Saya hanya menyapa, menanyakan kabar. Sampai kemudian dia cerita kalau sudah 3tahun belakangan dia menjalani pengobatan di Singapore untuk penyakit kankernya."

Naura hanya diam, tak membuang muka, pun tak memperhatikan Aksa bicara. Tapi ia mendengar.

"Hm"

"Rumah sakit di Indonesia sudah mengirimkan dia untuk dirawat di Singapore yang alat dan obatnya lebih lengkap. Tetapi, meski dia dirawat disana, itu sama sekali tak membuahkan hasil. Lagi² ia harus menjalani operasi untuk penyakitnya, sampai badannya habis menyisakan tulang yang kurus kecil." mata Aksa mulai berkaca-kaca, bibirnya gemetar melanjutkan ceritanya.

"Sudah mas, aku nggak mau dengar lebih banyak lagi. Aku pikir nggak perlu, karena yg aku mau tau adalah kenapa kamu peluk²an sama dia." pungkas Naura tegas.

"Ya, saya memang memeluk dia. Hanya untuk menenanngkan dia dan juga ketakutan dalam fikirannya."

"Apa urusannya sama kamu? Kenapa kamu yang bertanggung jawab untuk membuat dia tenang?" jawab Naura ketus.

"Naura, saya akui yang saya lakukan salah. Tapi coba kamu percaya sama saya, saya memeluk dia hanya untuk menenangkan dia dan fikirannya, karena bagi dia, sampai saat inipun melupakan saya tidak akan pernah bisa sepenuhnya. Tolong kamu mengerti." Naura berdecih

"Jawaban kamu itu berbelit² mas, nggak menunjukkan sebuah jawaban yang pasti. Aku permisi, mau nyusul mama ke toilet."

Langkah Naura tiba² terhenti saat tangan Aksa menyentuh pergelangannya.

"Dia memang cinta pertama saya, tapi dia masa lalu saya. Dan kamu adalah masa depan saya dan cinta terakhir saya Naura!" balas Aksa tegas, nadanya agak sedikit ditekan agar Naura mampu mengerti.

Naura menoleh, masih dengan alisnya yang bertaut bingung, ia mengangkat sebelah alisnya tanda tak mengerti

"Saya memeluk dia untuk yang terakhir kalinya, Naura. Demi tuhan, saya tidak bermaksud menghianati pernikahan kita, tapi saya hanya membantu dia untuk menenangkan pikirannya disaat² terakhirnya, saya cuma mau dia terbebas dari tekanan rasa takut dan merasakan sebuah ketenangan disisa hidupnya."

Kata-kata itu membius Naura, ia masih dibuat bingung dengan penjelasan Aksa yang memang berbelit, tidak to the point.

"Dia sudah meninggal.."

"Apa???" Naura terkejut .

"Ya, saya memeluk dia hanya untuk membuatnya tenang di sisa² kehidupannya. Saya hanya kasihan, tidak lebih." jujur Aksa. Naura terdiam, merasa bersalah, namun juga ia tak bisa dikatakan bersalah karena memang Aksa seharusnya tak melakukan itu dengan alasan apapun juga.

Tetapi alasan ini....

"Jangan bohong." peringat Naura tiba²

"Saya akan antarkan kamu ke makamnya kalau memang kamu tidak percaya. Setelah itu, kamu bisa nilai sendiri."

Naura bingung memutar otaknya, haruskah ia ke makam untuk membuktikan ucapan suaminya???

Before You (BELUM REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang