DYR 5

1.6K 195 48
                                    

Suara itu membuat jantungku berdentum lebih keras.

Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan.

"Araa.." Panggilnya lagi.

Selama ini, hanya keluargaku yang memanggilku dengan nama itu. Mas Arya juga setelah bertemu orangtuaku, baru ikut memanggilku Ara. Kalau Bagas, dengan inisiatifnya sendiri yang membuatku senang saat mendengarnya. Tapi itu dulu, sekarang rasanya begitu horor saat dia memanggil namaku.

Aku menutup mata sambil menghembuskan nafasku sebelum menengok ke arahnya.

"Bapak panggil saya?" Tanyaku sambil melirik ke arah toilet. Takut-takut ada yang menguping. Eh, dasar pikun! Di samping meeting room hanya ada dua toilet, jadi sudah dipastikan hanya ada kami disini.

"Siapa lagi yang bernama Arabella disini?" dia begitu santai berbicara seolah tak ada apa-apa diantara kami.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Sebentar, bukannya dia tadi keluar meeting room lebih dulu? Terus kenapa dia masih disini? Apa perut dia mulas hingga berlama-lama di toilet?

"Apa kabar, Ra?" Tanyanya.

Gilaa.. Nanya kabar. Gak kebalik? Yang harusnya bertanya itu aku. Bukan kamu! Kamu apa kabar? Kamu kemana aja? Kapan kamu nikah? Kok gak undang-undang? Ada banyak yang mau aku tanyakan. Cuma kayaknya aku gak siap dengar penjelasanmu.

"Baik, Pak." Aku sengaja tak menatap wajahnya. Takut kena peletnya lagi.

"Bagas, Ra."

"Maaf, ini di kantor, Pak. Rasanya tak sopan."

Bagas mendengus, "Ra, boleh ak--"

"Maaf, Pak. Saya duluan." Tak ku hiraukan panggilannya lagi.

Dengan langkah lebar, aku meninggalkannya yang masih mematung di depan toilet. Untungnya kantorku tak mewajibkan kami berpakaian formal yang membatasi gerak kami. Hanya atasan kemeja berwarna merah dengan logo di lengan kanan dan tulisan XYZ News di bagian saku depan yang wajib di pakai ke kantor. Sehingga aku bisa leluasa melangkah dengan menggunakan celana jeans dan sneakers favoritku.

Buru-buru ku sambar air minum Lili. Lili yang sedang minum seketika tersedak.

"Arabella!" Bentaknya.

"Jantungku mau copot, Li." Keluhku yang saat itu juga aku langsung berjongkok. Rasanya lututku lemas.

Dengan mode kepo, Lili membungkuk dari kursinya. "Kenapa? Kamu lihat?" Tanyanya dengan wajah menerka-nerka.

Aku mengangguk.

"Yang mana? Yang tinggi besar atau yang rambut panjang?" Dia begitu penasaran. Kau tahu, pembicaraannya mengarah kemana.

Yang ganteng nan rupawan.

"Beda lagi."

"Ah serius?" Lili melebarkan matanya. "Kemarin Mas Dendi cuma lihat yang rambut panjang."

"Dia rambutnya berjambul." Terangku. Aku jadi ingin terbahak melihat ekspresi wajahnya. Rasa gugupku menguar di udara.

"Masa berjambul? Yang bener kamu!" Lili menoyor kepalaku, dia sadar sudah aku kerjai.

"Aku cuma merinding, Li. Auranya mengerikan."

"Emang dari mana sih kamu?"

"Toilet samping meeting room."

"Lah, memang disana tempatnya. Kata Mas Dendi, dia berdiri di pojokan, mukanya tertutup sama rambut panjangnya."

"Terus Mas Dendi ajak dia kenalan?" Cengirku.

Do You Remember?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang