Aku duduk berhadapan dengan Pak Bagas dan anaknya yang memperhatikanku seolah aku ini terdakwa yang akan disidang di meja hijau.
Aku sama sekali tak menatap lelaki dihadapanku. Sangat berbahaya, karena tatapannya mampu menghipnotisku. Aku takut, bukan hanya hatiku saja yang nanti aku serahkan. Tapi juga yang lainnya.
"Ra.."
"Papa dari tadi cuma manggil nama Tantenya doang. Kenapa sih, Pa?" protes gadis kecil itu.
"Karena tidak ada yang perlu dibahas, Dek." ucapku yang membuat Bagas mengernyitkan keningnya seolah hendak protes. Tapi dia sepertinya tak berani macam-macam depan anaknya.
"Namaku, Arabella, Tante. Panggil aku Bella saja jangan Adek." Gadis kecil itu menginterupsiku. Dia tak mau disamakan dengan dedek gemes kali ya? Tapi mendengar namanya, sukses membuatku terbelalak. Hingga pandanganku kini terarah pada Bagas.
"Kenapa Arabella?" Spontan aku bertanya pada Bagas.
Apa maksudnya dia memberikan nama anaknya sama dengan namaku? Gak mungkin kan, kalau cuma kebetulan?
"Karena dia spesial." Cicitnya pelan.
Aku menghirup udara dalam-dalam. Rasanya sesak sekali mendengar alasannya padahal pendingin udara disini menyala dengan baik.
Aku tak mengerti dengan ucapan Bagas. Setahuku nama Arabella artinya cantik dalam bahasa latin. Terus maksudnya spesial itu apa? Gak mungkin kan dia juga gagal move on sepertiku? Tapi mana mungkin dia gagal move on, dia saja bisa ngadon anak ini dengan istrinya.
"Nama Tante siapa?" Tanya gadis itu padaku.
"Nama Tant—— . Ya hallo, Mas. Aku ke depan sekarang. Tunggu, ya." Aku buru-buru mengangkat telepon bahkan pada saat dering pertama. Seketika aku langsung berdiri.
"Maaf, saya sudah ditunggu. Saya permisi ya, Pak." Aku bergegas meninggalkan mereka tanpa menolehnya kembali. Masa bodoh, aku dianggap tak sopan. Aku tak sanggup harus berhadapan dengan mereka. Untung saja, Mas Arya meneleponku tepat waktu.
"Kamu lagi sama siapa? Kok bohong gitu, Ra?" Kini Mas Arya protes di seberang sana.
"Bosku, Mas. Kalau gak bohong, nanti kerjaanku ditambah. Mending aku menghindar saja."
Maaf aku berbohong juga, Mas.
"Ck.. Pinternya, pacarku. Sekarang mau pulang?"
"Iya. Mas kapan pulang, sih? Gak kangen sama aku?"
Samar-samar ku dengar suara perempuan diseberang sana yang berbicara dengan Mas Arya.
"Ra, Mas tutup dulu. Ibu manggil. Nanti Mas telepon lagi, ya?"
Baru aku membuka mulutku, Mas Arya sudah menutup teleponnya.
Dasar! Selalu begitu kalau dia pulang ke rumah.
Aku terpaksa naik taksi agar Bagas tak memergokiku yang telah berbohong padanya. Ya, walaupun naik taksi jauh lebih mahal dari pada naik ojek, apalagi disaat tanggal yang lagi tua-tuanyanya begini. Tapi demi harga diri, aku rela merogoh kocek terdalamku.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk dan aku segera membukanya. "Ra, aku mau bicara sama kamu. Tolong jangan menghindar terus, Ra."
Ah.. Bodoh..bodoh.. Bodoh.. Kenapa langsung dibuka whatsApp darinya? Ketahuan kan sama dia, kalau aku sudah membaca pesannya.
"Maaf Pak, bicara mengenai apa, ya?"
Oke, balas saja dulu. Tadi kamu udah gak sopan, pergi begitu saja, Ra!
KAMU SEDANG MEMBACA
Do You Remember?
RomanceKalau ada yang bilang, pertemanan dua orang yang berbeda jenis kelamin tanpa ada "rasa" sedikitpun diantara mereka, itu bohong. Contohnya, aku. Arabella Putri, yang masih terjebak dengan perasaan masa lalu. Dan dia, lelaki berwajah menggemaskan itu...