Sudah bersiap di posisinya masing-masing, seluruh pegawai siap menyambut para nasabah yang masuk ke dalam bank karena pintu aksesnya baru saja di buka. Lalu kembali duduk setelah menyampaikan sambutan pagi, Donny, Rosa dan Rima merapikan kembali tampilannya dan sudah memasang senyum menawan pada masing-masing wajahnya.
"Rim, perutnya lebih enakan?" Suara Rosa menarik kepala Rima menghadapnya. Kemarin memang perutnya benar-benar tak bisa di kondisikan, hari pertama datang bulan. Wajah Rima bahkan hampir sama pucatnya dengan jenazah. Padahal ia sudah memberikan sapuan blush on dan lipstick pada bibirnya, tetapi mata Rima masih memancarkan aura pucat yang kentara.
"Nggak sesakit kemarin Mbak, tadi subuh aku udah minum obat soalnya." Jawab Rima, jam masih menunjukkan pukul 08.04. Baru empat menit terlewati sejak bank di buka. Tetapi antrian teller belum seramai antrian CS yang sejak dibuka sudah ramai.
"Tapi kamu masih pucet, kenapa nggak izin aja Rim?" Menggeleng meyakinkan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, Rima menambahkan senyum pada wajahnya. "Sayang ah Mbak, lagian aku masih kuat kok."
"Nanti kalo bener-bener nggak kuat, bilang Mbak ya Rim." Rima mengangguk mengerti, dan keduanya dengan kompak menengokka kepalanya kedepan karena kini nasabahnya berdatangan.
"Selamat pagi. Bisa saya bantu transaksinya Pak?" Keduanya menyapa bersamaan, dengan senyum yang tersemat manis di wajah.
Dan hanya bertahan 3 jam, Rima kembali merasa kepayahan. Jika di kalkulasikan sudah terlewat 5 jam sejak obat pereda nyeri Rima konsumsi tadi pagi. Seharusnya efek obat yang ia minum mampu bertahan sampai jam makan siang, karena ia sudah memasuki hari kedua yang mana artinya rasa nyeri itu seharusnya tak sesakit sebelumnya.
"Rima." Selesai dengan nasabahnya, Rosa menoleh pada Rima yang menunduk dalam. "Kamu oke? Perlu ke belakang?"
Oke. Ini diluar prediksi. Rasa sakitnya malam semakin menjadi hingga mampu membuat tubuh Rima bergetar.
"Pak Yusuf, bisa tolong antar Rima ke belakang?" Yusuf yang terlihat baru saja masuk ke counter berniat mendudukan bokongnya ke atas kursi, mendekati Rosa dan Rima dengan cepat. "Rima? Kamu kenapa?"
Rasanya Rima ingin sekali membalas pertanyaan tak bermutu itu dengan kalimat tajamnya. Sudah jelas ia kesakitan, dan pria di sampingnya ini malah bertanya ia kenapa.
"Nyeri perut datang bulan Pak." Rosa yang menjawab, lalu dengan sigap Yusuf membantu Rima bangkit dari kursinya.
"Pak bentar!" Yusuf membatalkan niatnya mengangkat tubuh Rima saat tiba-tiba Rosa memekik tertahan. "Kamu nembus Rim, banyak banget."
"Kamu pegangin dulu." Rosa memohon maaf pada nasabah yang sudah siap di balik konternya, menggantikan Yusuf memegangi Rima, Mereka berhasil menjadi pusat perhatian.
Yusuf membuka blezer semi formal yang ia gunakan, lalu dengan gerakan gesit melingkarkan bagian lengannya pada sekitaran pinggang Rima.
"Makasih Rosa." Ujar Yusuf yang sedang bersiap mengangkat Rima ke dalam gendongannya.
Di waktu yang bersamaan, Bobby masuk tepat di belakang Keanu yang juga baru datang dan dirinya dibuat keheranan dengan tatapan nasabah yang memperhatikan counter teller. Ikut memperhatikan ke arah yang sama, Keanu menemukan pria yang ia kenali sebagai rivalnya telah menggendong naik Rima dan berjalan ke arah pintu.
"Pak, silahkan ke kantor belakang." Satpam menahan Bobby yang ingin mendekati counter, dan memberikan jalan bagi si pria karena ia mengenali siapa sosoknya agar bisa menghampiri Rima di belakang.
Berbalik cepat, Bobby keluar dengan berlari diikuti dengan Keanu yang tak mampu menghilangkan raut tegang pada wajahnya.
Diarahkan ke ruang loker, Bobby menarik mundur Yusuf yang baru saja membaringkan Rima di kursi panjang tengah ruangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
end | GRAVITY
FanfictionRasanya terlalu sulit mengabaikan perempuan sesempurna dia kan? -Keanu Abraham Available pdf. Cover berasal dari pinterest.