Semuanya bermula dari ketidakberuntunganku yang kembali dipertemukan dengan mantan yang gagal manten. Seakan belum puas, takdir kembali memainkan perannya. Tampaknya takdir sangat dendam padaku sehingga ingin aku menghadapi hal yang semula aku hindari.
Tempat duduk aku dan Athaya bersebelahan di pesawat. Aku duduk di dekat jendela, dia di tengah, sementara di sebelahnya Nathan.
Mau protes? Ya gak bisa. Yang ada bakal dicurigai. Toh dianya biasa aja, jadi aku harus santuy dong. Nanti malah dikira belum move on.
Ada yang aneh di dadaku. Rasanya sedikit sesak, seakan memicu mataku untuk mengeluarkan kabut pekatnya. Perasaanku campur aduk sejak pertama kali menatap matanya setelah sekian lama. Ini hanya nostalgia sesaat kan? Bukan karena aku belum bisa melupakannya?
Bak film yang sedang diputar, kenangan itu terus saja muncul seakan enggan pergi begitu saja. Ingin rasanya amnesia.
Bagaimana dinginnya seorang Athaya, yang sering aku panggil dengan nama tengahnya. Tatapan matanya yang tajam itu belum juga mengendur. Pesonanya masih kuat, seperti daya tarik magnet yang memaksaku untuk selalu mendekat.
Wanginya masih sama, lembut sekaligus menenangkan. Pasti parfum mahal. Ibaratnya ya, kalaupun udah lima belas menit lalu dia lewat, wanginya masih ketinggalan. Beuh.
Aku berusaha menenangkan diriku sendiri karena tak seharusnya aku bereaksi berlebihan seperti ini. Mendapatkan seorang wanita adalah hal gampang baginya. Apalah aku yang hanya butiran debu yang kebetulan nempel padanya untuk waktu yang singkat.
Selama satu jam lebih aku tak berpaling dari kegiatan menatap jendela. Leherku rasanya juga sudah pegal, tapi tetap saja enggan mengubah arah.
Beginilah kami semenjak hubungan itu berakhir saat masih berseragam putih abu-abu. Cinta monyet? Mungkin. Dia adalah cinta pertamaku yang berujung pilu.
Setelah berakhir dengannya, aku tak pernah lagi menjalin hubungan yang namanya pacaran. Gak kapok juga, hanya belum menemukan yang pas.
Yang jelas aku tak tau bagaimana dia semenjak berpisah dariku. Entah sudah berapa banyak mantan pacarnya. Cowok populer seperti dirinya tidak mungkin diacuhkan begitu saja. Terlepas dari upik abu sepertiku, dia pasti bisa mendapatkan seorang tuan putri yang pantas untuknya.
Aku dan dia adalah dua orang asing yang dipertemukan dalam sebuah ikatan yang namanya pacaran. Saat rantai itu terlepas, kami akan kembali pada posisi masing-masing. Layaknya orang asing yang baru kenal. Seperti saat ini.
---
Selama dua jam perjalanan ditempuh dengan menaiki mobil sewaan dari bandara. Aku kira sudah sampai, tapi ternyata belum. Kami harus berganti mobil, karena mobil yang kami tumpangi tadi tak mampu melewati jalanan pedesaan yang berbatu sekaligus becek. Mereka tak mau ambil resiko.
Akhirnya pindah kesebuah mobil pick up yang biasanya mengangkut barang dari kota ke desa ataupun sebaliknya. Hanya dua orang yang bisa duduk di depan bersama supirnya. Sedari awal aku sudah bisa menebak siapa yang bersikeras duduk di sana.
Aku juga tak protes sih. Toh hal seperti ini jarang aku jumpai. Dibawa enjoy aja, pasti akan menyenangkan.
Dibantu Nathan, aku berhasil naik keatas mobil pick up itu. Liana dengan ketanggungan layaknya pria, mampu naik sendiri tanpa bantuan. Dia benar-benar luar biasa. Aku kagum padanya.
Hanya aku yang duduk lesehan di atas bak mobilnya, sementara yang lainnya duduk di tepi karena tidak banyak tempat yang tersisa akibat banyaknya koper dan barang bawaan kami.
Awalnya aku ingin duduk di tepi juga seperti mereka karena pasti bakal seru sambil menikmati angin dan melihat pemandangan. Tapi sudah lebih dulu diwanti-wanti karena aku tak terbiasa. Takutnya nyusruk. Kan lucu. Nanti pada ketawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja (Update Setelah Revisi)
ChickLitKita bertemu dikala senja. Kita juga berpisah dikala senja. Padahal yang aku tau langit dan senja tak akan terpisahkan, karena setiap hari mereka selalu bersama. Meskipun hanya sesaat. Sama seperti langit dan senja yang hanya bertemu sesaat, begitu...