✨6. Tidak Ada yang Tidak Mungkin✨

1.9K 282 3
                                    

"Tendang!" Teriak seorang anak dengan semangatnya saat melihat temannya bingung hendak bagaimana. "Ki, tendang!" Suruhnya lagi.

Anak yang dipanggil 'Ki' itu menggerakkan kakinya, niatnya ingin menendang bola di depannya. Tapi bukannya menendang bola, ia malah menendang tanah hingga terjatuh. Sontak kejadian ini memicu tawa semua orang yang melihatnya. Termasuk aku dan Nathan yang tengah duduk di bawah pohon rindang tepat di pinggir lapangan.

"Anak kecil dengan segala kepolosannya, no tipu-tipu, no hoax." Aku mengangguk membenarkan perkataan Nathan.

"Kadang gue iri sama anak kecil. Hidup mereka kelihatan bahagia terus. Kayak gak ada masalah. Kalau udah gede gini berasa pengen balik lagi ke masa itu." Gumamku. Senyumku tak kunjung pudar kala melihat mereka berlarian di bawah teriknya sinar matahari dengan penuh semangat. Sesekali berteriak menyoraki teman maupun lawan, kadang mereka tertawa.

"Kei, gak mungkin lah. Lo udah gede. Badan lo gak bisa dikecilin lagi." Aku merengut sebal.

"Pengennya loh Nathan. Gue juga tau kalau itu gak mungkin." Aku suka masa sekarang maupun masa lalu. Keduanya sama-sama mengasyikkan. Tapi ada kalanya aku ingin memiliki pikiran seperti anak kecil lagi, yang sederhana. Karena semakin dewasa rasanya semakin sulit untuk berfikir sederhana.

Terlalu banyak yang aku fikirkan hingga kadang membuatku pusing sendiri. Bahkan memikirkan sesuatu yang tak seharusnya aku fikirkan. Memilah-milah mana yang harus dipikirkan dan mana yang tidak perlu dipikirkan adalah pekerjaan yang rumit buatku.

Kedua netraku menangkap pergerakan Langit dan Edrea yang baru saja keluar dari ruang guru. Mereka nampak sedang membahas sesuatu. Edrea sepertinya sangat lucu hingga ia mampu membuat Langit tersenyum. Walaupun sangat tipis.

"Balik berdua aja yuk? Kayaknya mereka masih lama." Ajakku pada Nathan. Malas lihat pemandangan seperti ini. Bukan sakit hati, tapi malas saja. Itulah kenapa aku selalu menghindar dari Langit sejak kami putus. Langit selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik di sekitarnya.

Walaupun nakal, bebal, sering dihukum saat di sekolah, tapi Langit memiliki daya tarik tersendiri bagi wanita. Dia bukan bad boy yang merupakan ketua geng motor pentolan sekolah. Bukan pula most wanted dengan kegantengan bak dewa Yunani sehingga membuat wanita tergila-gila dengannya. Dia juga bukan orang yang disegani hingga orang di sekitarnya jadi tunduk padanya.

Langit bukan tipe lelaki yang gemar bola basket hingga sering disemangati dari pinggir lapangan. Bukan juga ketua OSIS yang selalu dipuja di seluruh penjuru sekolah. Boro-boro dia yang punya sekolah, yang ada hampir setiap hari dapat hukuman sehingga guru tau betul bagaimana kenakalan.

Tapi dia setia kawan. Tak banyak menggombal hal-hal yang bikin eneg. Tidak banyak berbicara pada orang lain, tapi saat bersamaku bawelnya langsung kebangetan. Tapi itu dulu, karena aku tak tau bagaimana kehidupannya sekarang. Fakta bahwa dia selalu dikelilingi wanita cantik adalah hal yang tetap ada sampai sekarang.

Langit ya Langit. Pria dengan sejuta pesona yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Aku saja sering menganga jika dihadapkan pada tingkahnya yang tak aku sangka-sangka.

Aku berjalan menjauh tanpa menunggu persetujuan Nathan. Entah dia mengikutiku atau tidak, yang jelas aku ingin segera sampai di posko. Apalagi aku yang menyimpan kuncinya, nanti keduluan sama teman-teman yang lain. Kasihan juga jika mereka harus menunggu lama. Apalagi di sini jaringan lumayan susah, mengirim sms aja lama. Mereka kirim pesan pun, palingan tak akan terkirim langsung.

Ada saat dimana sinyal lagi bagus-bagusnya, yaitu tengah malam. Itupun tidak bisa dipakai untuk mendownload. Ya beginilah kondisi di desa.

Cuaca sangat panas karena menjelang tengah hari. Tapi aku justru melepas topi yang tadinya sudah aku kenakan. Biarlah begini. Aku lebih nyaman seperti ini.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang