Revisi, revisi, dan revisi!
Rasanya aku ingin melempar skripsi yang menurutku telah bagus tapi ternyata masih banyak sekali kekurangannya menurut dosen pembimbingku tersayang. Dengan percaya dirinya aku datang ke kampus sambil menampakkan senyuman lebar di wajahku dan mengira akan dapat persetujuan untuk melaksanakan sidang dalam waktu dekat. Tapi boro-boro dapat tanda tangan, terdapat banyak sekali coretan yang hampir memenuhi setiap lembar yang berada di bab empat.
Perkiraanku meleset. Setelah revisi terakhir kali, aku menilai semuanya sudah sempurna. Namun masih ada bagian yang mungkin tak terlihat oleh dosenku sebelumnya, yang hari ini ia amati dengan empat matanya.
Apakah penggunaan kacamata membantunya menemukan kekurangan di skripsiku sehingga penanya yang menari dengan lincah berhasil membuatku dongkol setengah mati? Mungkin saja. Karena sebelumnya ia tak menggunakannya.
Rasa percaya diri yang berusaha aku bangun sejak sampai di kampus langsung musnah, ditelan mentah-mentah oleh kejamnya kenyataan. Berkat tinta merah yang juga terpampang nyata di cover, aku menjadi semakin lemas dibuatnya. REVISI SEGERA, JANGAN DITUNDA!!!
Tak cukup menggunakan satu tanda seru, tapi tiga. Hal ini berarti perintahnya memiliki kekuatan tiga kali lipat dibandingkan biasanya.
Tentu saja aku tak ingin menunda. Tapi esok hari aku tetap tak bisa bimbingan karena dosenku mengajar dari pagi hingga sore. Jadi apa gunanya mengerjakan segera? Dikejar tenggat lebih asik.
Tujuannya memang baik, agar ingatan perihal bagian mana yang perlu diperbaiki tetap membekas di kepalaku. Tapi sepertinya goresan yang dibuat sudah cukup untuk mengembalikan daya ingatku akan hari ini.
Keluar dari gedung kampus, semua yang tampak di mataku selalu terlihat salah. Sepeda motor yang berbaris acak di parkiran dengan menyisakan banyak sekali celah mendadak membuat aku kesal. Kenapa disaat kampus sudah sepi akibat libur semester, tapi aku masih bolak-balik ke sini?
Jangankan pergi liburan di akhir tahun, merencanakannya saja tidak. Sungguh malang tak bisa pergi menenangkan batin. Walaupun bisa dilakukan setelah skripsi ini selesai, tapi entah kapan waktu itu datang.
Pohon pucuk merah yang biasanya sangat enak dipandang, seketika menghadirkan kegeraman yang tertahan di ujung lidahku. Sayangnya tak sampai keluar. Kenapa pula pucuknya harus berwarna merah?
Rambutan matang yang biasanya selalu kuharapkan untuk jatuh, tiba-tiba tak kudambakan lagi kehadirannya. Biarlah dia tetap di atas sana, agar aku tak membuatnya berakhir di tong sampah. Jangan bermimpi akan aku makan, meskipun rasanya sangat manis.
"Revisi?" Langit bahkan mampu menebaknya dengan hanya melihat raut wajahku yang tak bersahabat.
Mulanya aku mengira kalau diriku akan lebih dulu usai bimbingan. Tapi Langit lebih cepat. Skripsinya pasti sudah langsung disetujui untuk dijilid, setelah dua kali bimbingan pasca sidang. Setelah ini ia hanya perlu mengantarnya ke perpustakaan dan semua urusannya akan selesai. Hanya tinggal menunggu wisuda dan keluarnya ijazah. Aku sungguh iri.
Hilal sidang masih sangat jauh dari pandanganku. Kelihatan secuil pun tidak. Dia masih bersembunyi, menunggu dan menunggu entah kapan saat ia bisa menampakkan dirinya.
"Kalau mahasiswa merasa lelah sama skripsi, mereka sering bilang pengen nikah aja. Terus kalau yang udah nikah cara ngeluhnya gimana?" curhatku lirih. "Gak mungkin kan aku bilang pengen lagi?"
Langit tersenyum tipis lalu mengusap kepalaku. "Jangan dong. Nanti suami kamu yang satu ini mau dikemanain?"
Tak mungkin dibuang begitu saja. Karena dia sudah mengambil milikku yang berharga. Langit harus bertanggung jawab padaku sampai salah satu dari kami tutup usia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja (Update Setelah Revisi)
ChickLitKita bertemu dikala senja. Kita juga berpisah dikala senja. Padahal yang aku tau langit dan senja tak akan terpisahkan, karena setiap hari mereka selalu bersama. Meskipun hanya sesaat. Sama seperti langit dan senja yang hanya bertemu sesaat, begitu...