"Senja, apartemennya gak terlalu gede. Mungkin bakal kurang nyaman, tapi..."
"Langit, kalo lo ngomong gitu lagi gue bakal balik ke rumah ayah loh." potongku.
Ini adalah ketiga kalinya ia mengatakan hal yang sama, membuat kekesalanku semakin menggunung. Bukankah apartemen identik dengan lahan yang terbatas? Aku pun mengerti itu. Kalau mau apartemen yang luas, tinggal beli gedungnya. Bukan unit apartemennya.
Lagian kalau disuruh memilih, tinggal di apartemen tak selamanya buruk jika dibandingkan dengan di rumah. Dalam hal bersih-bersih akan lebih hemat waktu dan tidak membuat capek. Meskipun sedikit ribet karena harus naik lift.
"Jangan gitu dong."
"Makanya jangan ngomong gitu lagi." Aku menekan kenop pintu hingga akhirnya menampakkan pemandangan ruang tamu dengan sofa beserta meja dan tv. Meskipun tak banyak dekorasi ruangan, kesan ruangan ini sangat nyaman.
Ku lepas sepatu dan menggantinya dengan sandal coklat muda yang tersedia di sana. Tak lupa meletakkan sepatu yang aku gunakan ke rak kecil yang berada dekat pintu. Aku tak peduli lagi dengan Langit yang membawa dua buah koper di tangannya karena terlanjur asik memperhatikan isi dalam apartemen.
Ada sebuah pintu yang berada di samping ruang tamu, yang mengarah ke balkon. Pintu itu aku buka hingga aku bisa melihat pemandangan dari atas lantai lima gedung ini. Langit tampak sangat terang karena saat ini tengah hari. Angin yang berhembus agak kencang mampu membuat rambutku berantakan.
Tak hanya ada ruang tamu, unit apartemen ini juga dilengkapi dengan dapur minimalis yang menyatu dengan ruang makan. Meja makannya tak terlalu besar namun muat untuk empat orang. Ini adalah area yang akan menjadi daerah kekuasaanku karena Langit tak bisa memasak.
Sesaat aku tersadar kalau Langit tak lagi bersamaku. Aku lantas menuju ke ruangan lain yang sepertinya menjadi tujuan Langit. Ternyata benar, ia sedang berada di kamar, tengah menata pakaiannya ke dalam lemari.
Kamarnya sama seperti kamar kebanyakan, terdapat ranjang serta lemari. Ku urungkan niatku untuk masuk karena menemukan pintu yang mengarah ke ruangan lain. Ruangan ini lebih kecil dibandingkan kamar, yang diperuntukkan sebagai ruangan belajar atau bekerja karena aku melihat ada komputer di sana.
Meskipun secara keseluruhan apartemen ini tak terlalu besar, namun isinya lumayan lengkap. Jangan lupakan kamar mandi yang ukurannya hampir sama dengan ruang belajar.
"Keliatan nyaman banget. Lo sering tidur di sini?" Aku kembali ke kamar tatkala Langit masih memasukkan beberapa isi koper miliknya ke dalam lemari.
"Kalau malam gak pernah. Biasanya siang atau sore aja, kalau males pulang tapi pengen istirahat." Pasti Langit tak diizinkan bunda menginap di sini. Itulah kenapa ia hanya beristirahat saat siang. Apalagi jarak apartemen ini tak terlalu jauh dari kampus. Meskipun bolak-balik dari kampus ke sini, tak akan memakan banyak waktu.
Ku putuskan untuk kembali ke meja makan dan menaruh kresek yang dari tadi masih aku bawa mengitari apartemen. Kresek pertama berisi makanan yang kami beli untuk makan siang. Sementara yang satunya lagi berisi beberapa makanan ringan.
Awalnya aku mengatakan pada Langit kalau aku akan masak untuk makan siang kami. Namun Langit menolak dengan alasan kami baru sampai dan harus membereskan belanjaan yang baru kami beli tadi, untuk mengisi kulkas dan lemari. Karena stok di apartemen tidak ada.
Resepsi pernikahan berlangsung lumayan lama kemarin. Acaranya berakhir hampir tengah malam. Selepasnya kami langsung tepar di kamar hotel.
Lumayan banyak tamu yang datang. Mayoritas adalah kenalan bunda dan orang tuaku. Aku dan Langit hanya mengundang beberapa orang, termasuk kelompok KKN kami pastinya. Meskipun yang datang hanya Liana dan Fabian. Kalau Nathan tak perlu ditanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Senja (Update Setelah Revisi)
Chick-LitKita bertemu dikala senja. Kita juga berpisah dikala senja. Padahal yang aku tau langit dan senja tak akan terpisahkan, karena setiap hari mereka selalu bersama. Meskipun hanya sesaat. Sama seperti langit dan senja yang hanya bertemu sesaat, begitu...