✨25. Ingkar Janji✨

976 160 6
                                    

"Senja janji akan selalu berteman dengan Langit. Jika ada masalah, tidak boleh menghindar. Masalah harus diselesaikan secara baik-baik lalu kembali berteman seperti semula."

Sebuah rekaman suara dikirimkan oleh Langit padaku. Aku terdiam lama, meresapi setiap kata-kata yang aku dengar dari mulutku sendiri. Dulu aku pernah berjanji tak akan menghindar jika seandainya terjadi masalah diantara kami, namun aku tak bisa menepati janjiku. Nyatanya aku terus menghindar. Aku ingkar janji.

Flashback on

"Hormat tiang bendera sampai jam pelajaran selesai!" Aku memaki diriku sendiri dalam hati. Bukan mengutuk guru yang menghukumku hari ini, tapi memarahi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku lupa membawa buku PR yang sangat berharga itu? Tak biasanya aku lupa dengan benda berharga yang seharusnya ada di dalam tasku. Bahkan sudah beberapa jam aku di sekolah, tak sekalipun aku mengecek apakah buku itu ada atau tidak. Ketika akan dikumpulkan, barulah aku kelimpungan mencari buku yang tidak berada di dalan tasku.

Aku sungguh ingat momen di mana aku mengambil buku itu dari lemari. Namun entah kenapa buku itu jadi lenyap tak berbekas. Alhasil untuk pertama kalinya aku dihukum tak bisa mengikuti pelajaran hingga selesai sekaligus harus berpanas-panasan di lapangan sembari memberi hormat pada bendera.

Salahku juga tak memeriksa tasku sekali lagi sebelum berangkat sekolah. Padahal guru ekonomi ini terkenal sangat mengerikan karena amat menjunjung tinggi kedisiplinan. Tak ada ampun bagi para siswa yang tidak menurutinya. Itu lah kenapa ia diberi gelar Pak Kumis Tajam. Walaupun yang benar-benar tajam adalah hukuman yang ia berikan, bukan kumisnya.

Aku menggerakkan tanganku yang mulai terasa pegal setelah hormat bendera selama lima belas menit. Masih untung PR itu tak dikumpulkan saat awal pelajaran tadi. Jika iya, maka aku harus berdiri di lapangan yang panas ini selama sembilan puluh menit alias dua jam pelajaran. Tapi tetap saja, aku tak ingin dihukum seperti ini.

Keringat mulai turun membasahi pelipisku. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi sebelum pelajaran berakhir namun aku sudah mulai merasa lelah. Apa aku akan kuat berdiri dengan posisi hormat seperti ini? Aku tak yakin.

Kalau aku pingsan di sini, aku akan dianggap sebagai orang yang suka berpura-pura karena lari dari hukuman. Meskipun aku terbebas sementara, tapi aku tak bisa menghindari hukuman lainnya yang akan datang di kemudian hari. Seperti yang dialami teman sekelasku beberapa hari yang lalu. Pingsan bukanlah pilihan yang tepat juga. Jalan satu-satunya adalah bertahan hingga masa hukuman berakhir.

Mataku sedari tadi selalu menemukan siswa yang berlalu lalang di koridor sekolah. Tak jarang aku mendapat perhatian mereka. Percayalah, bukan siswa yang pintar dan cantik atau tampan saja yang bisa terkenal di sekolah ini, siswa bebal pun bisa dengan mudah dikenal banyak orang. Apalagi wajah-wajah yang dikenali sebagai siswa yang seringkali dihukum. Sungguh, aku tak mau dikenal karena kesalahanku hari ini.

Ku akui kalau aku malu jika terus seperti ini. Apalagi saat jam pelajaran berakhir, tibalah waktu pulang sekolah. Bagaimana jika ada kelas yang pulang lebih dulu dibandingkan bel tanda pulang berbunyi? Aku harus siap-siap menarik lebih banyak perhatian. Mungkin saja aku akan jadi bahan tontonan.

Sekali lagi mataku mengarah pada seorang siswa yang melangkah keluar dari kantin. Di jam segini masih saja ada siswa yang izin ke toilet tapi perginya ke kantin. Dia adalah Langit, pria yang merecoki hidupku akhir-akhir ini.

Ketika mata kami bertemu, ia menghentikan langkahnya sejenak lalu berjalan mendekat. Tak semudah itu ia menyia-nyiakan kesempatan untuk menggangguku. Apalagi saat ini aku tak bisa kabur darinya karena harus menjalani hukuman. Semoga aku bisa tetap sabar menghadapi kelakuannya yang tidak ada habisnya.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang