✨21. Cemburu, cemburu, cemburu✨

2K 284 23
                                    

"Kok udah di sini aja? Kan janjinya jam 9." Tanyaku heran saat mendapati Langit yang berdiri di depan rumahku di saat matahari belum terlalu panas. Aku saja baru selesai mandi.

Sekarang baru jam 8. Masih ada waktu sejam namun dia sudah datang menjemputku. Jam tangannya rusak atau dia yang terlampau rajin sih? Jam di hpnya masih waras kan ya? Tumben sekali ia terlalu rajin seperti ini.

"Kata Ibu lo tadi bikin kue. Makanya gue datang lebih cepat supaya bisa nyicip. Udah lama enggak makan kue buatan lo." Sahutnya nyengir seraya merapikan rambutnya yang tampak kusut setelah melepas helm yang ia kenakan.

Dari dulu hingga sekarang, Ibu selalu memihak pada Langit. Apa yang aku lakukan pasti disampaikan pada Langit tanpa perlu pikir panjang. Ibu beneran ibuku atau bukan sih?

Langit duduk di kursi depan rumah tanpa diperintah setelah melepas jaket hitam yang ia kenakan. Rumah adalah area terlarang baginya jika hanya ada aku. Makanya sejak awal dia sudah tau harus bagaimana.

Aku kembali masuk dan membuatkan minuman coklat sekaligus membawakan sepiring kue untuknya. Tak hanya tidak bisa minum kopi, Langit juga tak terlalu suka teh. Minuman yang sering ia minum adalah susu, coklat, jus dan air putih tentunya.

Sebenarnya aku memasak kue karena permintaan Ayah. Ayah ingin memakan kue buatanku, karena semenjak KKN tak bisa memakannya. Ada dua jenis kue yang aku buat, kue kering dan kue basah. Aku sering membuat kue kering dalam jumlah banyak agar bisa dihidangkan untuk tamu ataupun dijadikan cemilan sehari-hari. Buatan sendiri memang lebih nikmat jika dibandingkan dengan dibeli.

Tanpa aku suruh, Langit sudah lebih dulu menyambar kue yang baru saja aku taruh di meja. Satu suapan masuk ke mulutnya mengundang senyum di bibirnya. Tangan itu kembali bergerak memasukkan kue itu dengan semangat. Dia lapar apa doyan?

Langit selalu seperti ini sejak bersamaku. Dulu Bunda pernah bercerita kalau Langit itu tipe anak yang jarang makan. Aku malah tak percaya kata-kata itu karena sejak kenal Langit, aku selalu dihadapkan pada kegilaannya pada makanan. Khususnya makanan rumahan.

"Senja, pengen buka toko kue gak?" Dahiku berkerut bingung tatkala mendengar pertanyaannya. "Abisnya lo pinter banget bikin kue. Kalau buka rumah makan, ntar malah saingan sama Ibu. Mending bikin toko kue gimana? Pasti laris." Aku tak seberani itu. Dengan skill yang masih minim dan tak ada modal, bagaimana caranya aku membuat toko kue?

"Gue gak ahli. Cuma bisa bikin beberapa kue doang." Tak mungkin kue yang disajikan hanya itu-itu saja. Belum tentu orang akan suka buatanku. Selera orang kan berbeda-beda.

"Kan bisa kursus juga. Biasanya lo cuma belajar dari internet doang. Mumpung ahli, kenapa gak dimanfaatkan? Kan lo hobi, jadi kerjanya gak berasa." Iya juga ya. Itulah kenapa sejak awal aku tak pernah merasa capek memasak, karena aku menikmati prosesnya. Aku bahagia jika bisa selalu menikmati hidangan yang nikmat. Apalagi melihat orang yang memakan makanan buatanku dengan lahap, bahagianya jadi berlipat ganda.

Pertama kali aku belajar memasak, rasanya tak terlalu enak meskipun masih layak dimakan. Ayah adalah orang pertama yang dengan senang hati menghabiskan makanan yang aku buat kendatipun Ibu mengatakan buatanku tidak enak sama sekali. Sejak itulah aku bertekad untuk sungguh-sungguh belajar memasak supaya aku tak lagi menghidangkan makanan yang dapat merusak lidah dan perut Ayah.

Ayah memang dengan senang hati mau menghabiskan makanan buatanku. Namun aku tak tega melihat itu. Meskipun wajah terpaksa itu tak tampak olehku, tapi aku tetap merasa sedih. Ayah selalu terlihat bahagia setiap memakan makanan yang aku hidangkan. Makanya aku tak pernah protes setiap kali diminta untuk memasakkan makanan untuknya. Karena aku tau Ayah menikmati buatan putrinya.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang